TEMPO.CO, Yogyakarta - Internal Kadipaten Pakualaman tengah membahas alternatif lain berkaitan dengan penggunaan tanah Pakualaman untuk calon bandar udara di pesisir selatan Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo.
Dari lahan seluas 650 hektare untuk bandara tersebut, terdapat tanah milik Pakualaman seluas 170 hektare. Lahan-lahan tersebut akan dibeli PT Angkasa Pura (Persero) I selaku pemrakarsa, yang nilainya berdasarkan hasil penghitungan appraisal independen.
Adapun kubu Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Anglingkusumo, yang berseberangan dengan kubu Paku Alam X, mengeluarkan somasi yang berisi penolakan penjualan tanah Pakualaman tersebut.
“Dan tanah (Pakualaman yang digunakan untuk bandara) itu tak boleh disewakan. Ada aturannya, harus dilepas untuk pembangunan,” kata Penghageng Pambudaya Kadipaten Pakualaman Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Kusumo Parasto saat ditemui di depan Kantor Wakil Gubernur DIY di Kepatihan Yogyakarta, Senin, 11 Januari 2016.
Kusumo mengacu pada UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Alternatif adanya tukar guling dengan menukar tanah Pakualaman dengan lahan di lokasi lain, menurut Kusumo, juga tengah dipikirkan meskipun ada kendala sulitnya mencari lahan dengan luas yang sama di daerah lain.
Sedangkan kemungkinan Pakualaman menjadi penanam saham di bandara tersebut sehingga tidak perlu menjual tanahnya, menurut Kusumo, justru nantinya merugikan Pakualaman. Hal ini disebabkan oleh tanah Pakualaman semakin lama menjadi aset yang bisa habis, sedangkan bandara semakin berkembang.
“Yang bagus itu disewakan, tapi kan enggak boleh. Nanti saja, wong didol (dijual) saja belum,” kata Kusumo.
Internal Pakualaman juga tengah membahas konsep peruntukan uang dari hasil penjualan tanah untuk bandara. Apabila uang tersebut digunakan untuk membeli lahan baru, menurut Kusumo, nilainya tak sebanding lantaran harga tanah sudah membubung tinggi.
Rencananya, uang tersebut akan dikelola lembaga khusus di Pakualaman. Pengelolaannya adalah dengan menggunakan uang tersebut untuk kegiatan yang berkaitan dengan kesinambungan interaksi antara kadipaten dan masyarakat. Kusumo mencontohkan, dengan membeli bibit tanaman unggul, kemudian ditanam, dan dikelola masyarakat, yang hasilnya dibagi dengan sistem bagi hasil.
“Karena enggak mungkin (uangnya) dibagi-bagi kepada internal Pakualaman. Keturunan Paku Alam V berapa, VI berapa, dan seterusnya,” kata Kusumo.
Sementara itu, menantu Anglingkusumo, KPH Wirayudha, menegaskan jika tidak bisa tukar guling, Paku Alam X tidak bisa memaksakan tanah Pakualaman tersebut diserahkan untuk pembangunan bandara. Hal ini mengingat Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) DIY telah menjelaskan kawasan pantai selatan di Temon tersebut rawan Tsunami.
“Mengapa harus dipaksakan untuk bandara? Tanah Pakualaman itu sedikit, nanti bisa habis,” kata Wirayudha. “Itu tanah trah. Harus dipertanggungjawabkan. Harus ada transparansinya.”
Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X tak mempersoalkan adanya pertentangan penggunaan tanah Pakualaman untuk bandara. Sultan menyerahkannya ke pengadilan.
“Orang bisa menang atau tidak, yang membuktikan kan pengadilan,” kata Sultan.
PITO AGUSTIN RUDIANA