TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan bergabungnya Golkar ke pemerintah tidak menjamin tak akan ada kegaduhan politik. Menurut dia, jika berkaca pada pemerintahan era Susilo Bambang Yudhoyono, Golkar merupakan partai yang “bandel” meskipun satu koalisi dengan pemerintah.
“Lebih baik Pak Jokowi fokus merangkul teman-teman partai yang dianggap sejalan secara kualitatif, bukannya mengumpulkan partai sebanyak-banyaknya," ujar Yunarto saat dihubungi Tempo, Jumat, 8 Januari 2016.
Menurut Yunarto, pada periode pemerintahan SBY-Boediono, partai pendukung pemerintah berhasil menggalang koalisi hingga 75,34 persen. Namun, baru berjalan dua bulan koalisi pecah yang ditandai pembentukan Panitia Khusus kasus Century dan angket mafia pajak.
Selain itu, Yunarto juga menilai masalah konflik internal Golkar juga harus dipertimbangkan. Menurut dia, partai berlambang beringin itu harus terlebih dahulu menyelesaikan masalahnya jika ingin masuk dalam koalisi pendukung pemerintah.
"Bagaimana mungkin sebuah partai yang belum jelas kepengurusannya mau merpatkan diri ke pemerintah," katanya. Dia yakin Presiden Jokowi tidak akan memberikan sinyal untuk membuka diri, apalagi memberi kursi menteri pada Golkar jika kondisinya masih seperti ini.
Dalam rapat konsolidasi pimpinan yang digelar kepengurusan Golkar hasil Munas Bali pada 5 Januari 2016, Golkar kubu Aburizal Bakrie ini menghendaki untuk menjadi partai pendukung pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla.
Sebelum Golkar, Partai Amanat Nasional juga sudah lebih dulu memutuskan keluar dari KMP dan bergabung dengan koalisi pendukung pemerintah. Bahkan PAN dikabarkan akan mendapat jatah kursi menteri di Kabinet Kerja.
EGI ADYATAMA