TEMPO.CO, Pekanbaru - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau mendesak pemerintah membentuk badan ad hoc dan pengadilan khusus kejahatan lingkungan. Hal ini menyusul semakin banyaknya gugatan yang dilayangkan oleh negara terhadap perusahaan perusak lingkungan selalu kandas di pengadilan.
“Jika pemerintah serius memerangi bencana kabut asap, segera bentuk pengadilan lingkungan,” kata Direktur Eksekutif Walhi Riau, Riko Kurniawan, kepada Tempo, 7 Januari 2016.
Baca Juga:
Menurut Riko, kejahatan lingkungan merupakan lex spesialis yang memerlukan badan khusus untuk menyelesaikan perkara. Hal tersebut sama alasannya saat negara membentuk pengadilan tindak pidana korupsi untuk memerangi korupsi di Indonesia. Selama ini, kata dia, perkara lingkungan selalu mental di pengadilan akibat berbedanya persepsi antara penegak hukum dalam menangani perkara.
Riko mencontohkan saat Kepolisian melengkapi berkas dan bukti yang kuat, persoalan kerap muncul di kejaksaan yang memberikan tuntutan rendah sehingga hakim akan memberikan vonis ringan para terdakwa perusak lingkungan. “Begitu sebaliknya, saat jaksa memberikan tuntutan tinggi, justru hakim yang malah memvonis bebas terdakwa,” ujarnya.
Ketidaksamaan persepsi antara penegak hukum tersebut menguntungkan perusak lingkungan, terutama korporasi pembakar lahan. Menurut Riko, banyak gugatan yang ditangani pengadilan di daerah selalu mental akibat hakim yang menangani perkara tidak memiliki perspektif lingkungan. “Kapasitas penegak hukum lemah,” katanya.
Kejanggalan juga kerap ditemukan saat perkara lingkungan naik ke Pengadilan. Salah satunya, hakim yang memimpin persidangan tidak bersertifikasi lingkungan. Padahal, di Pengadilan Negeri di setiap daerah mempunyai hakim bersertifikasi lingkungan, namun tidak pernah digunakan untuk menangani kasus lingkungan.
Berdasarkan catatan Walhi, beberapa perkara kebakaran hutan dan lahan di Riau yang selalu kandas diantaranya adalah PT Nasional Sago Prima yang divonis bebas Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bengkalis, Sarah Louis, pada 22 Januari 2015 lalu. Padahal, terdakwa dituntuk hukuman 6 tahun pejara dan denda Rp 1 miliar. Menurut Riko, Sarah Louis hakim yang tidak memiliki sertifikasi lingkungan.
Kasus lainnya adalah vonis bebas tiga terdakwa PT Adei Plantation di Pelalawan dengan alasan UU Perkebunan tidak dapat dikenakan untuk warga negara asing. Selain itu, pada 4 Maret 2014 Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru Reno Listowo juga menolak gugatan Kementerian Lingkungan Hidup terhadap PT Merbau Pelalawan Lestari Rp 16 Triliun.
Kasus terbaru yakni Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palembang, Parlas Nababan, menolak gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap PT Bumi Mekar Hijau Rp 2,6 triliun.
RIYAN NOFITRA