TEMPO.CO, Jakarta - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika ternyata juga mendeteksi ledakan uji coba bom hidrogen Korea Utara pada Rabu, 6 Januari 2016. Ledakan tersebut terjadi di 59 kilometer dari Kimchaek, Korea Utara, dengan kekuatan setara gempa 5,1 skala Richter.
“Setelah kami periksa melalui proses filtering, dapat disimpulkan bahwa hal tersebut adalah gempa bumi yang berasal dari ledakan nuklir di Korea Utara yang tengah melakukan percobaan nuklir,” ujar Deputi Bidang Geofisika BMKG Masturyono kepada Tempo melalui sambungan telepon.
Masturyono menjelaskan, gempa akibat ledakan nuklir memiliki ciri tersendiri dan berbeda dengan gempa tektonik. “Beda di amplitudonya,” katanya. Menurut Marturyono, gelombang primer pada ledakan nuklir memiliki amplitudo yang besar dan pada gelombang sekulernya memiliki amplitudo kecil, sedangkan gempa tektonik kebalikannya.
Marturyono menuturkan awalnya pihaknya mengalami sedikit kesusahan dalam mendeteksi gempa tersebut. Selain jarak ledakannya yang jauh, pendeteksian harus menunggu proses filtering untuk menyimpulkan penyebabnya.
“Rekaman gempa seperti rekaman suara digital. Kalau gempa biasa, akan terlihat. Tapi, kalau nuklir, harus diproses dulu,” ucap Masturyono. Adapun proses filtering ini tidak berlangsung lama.
Gempa dengan kedalaman 1 kilometer tersebut terdeteksi BMKG, yang rutin memonitor gempa bumi. BMKG memiliki 164 stasiun perekam gempa bumi yang tersebar di seluruh Indonesia.
Dengan adanya kejadian tersebut, Masturyono memastikan Indonesia tidak akan terkena dampak dari percobaan nuklir yang dilakukan Korea Utara. Hanya lokasi sekitar ledakan saja yang merasakan efeknya.
“Kami melihat ledakan nuklir hanya dirasakan di beberapa kota sekitar Korea Utara dengan intensitas 3 MMI,” tuturnya.
BAGUS PRASETIYO