TEMPO.CO, Jakarta - Pasar burung di Jalan Pramuka, Jakarta Pusat, kembali mendapat sorotan setelah Presiden Joko Widodo memborong burung di sana untuk kemudian dilepaskan. Aktivis satwa memprotes langkah Presiden Jokowi itu. Alasannya, Pasar Pramuka adalah salah satu pasar yang dijadikan tempat penjualan burung secara ilegal. Menurut Koordinator Profauna Representatif Jawa Barat Plus Rinda Aunillah Sirait, Senin, 4 Januari 2016, banyak satwa liar dilindungi dijual di sana.
Pasar Pramuka memang terkenal sebagai pasar berbagai jenis burung, dari burung biasa hingga burung langka serta dilindungi ada di sana. Sebelumnya, lembaga pemantau perdagangan hewan, Traffic, juga pernah menyoroti Pasar Pramuka. Menurut Traffic, terdapat tiga pasar burung yang diduga ilegal di Jakarta, yaitu Pasar Pramuka, Pasar Jatinegara, serta Pasar Barito.
Dalam laporan penelitiannya yang dipublikasikan September 2015, Traffic menganggap penjualan burung di tiga pasar itu ilegal. Lembaga ini menemukan lebih dari 19 ribu ekor burung yang dijual, sekitar 98 persen adalah burung khas Indonesia yang diduga ditangkap langsung dari alam. “Ini melanggar peraturan,” kata Serene Chng, Co-author dan Programme Officer Traffic Asia Tenggara.
Memang, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, beberapa burung tak boleh ditangkap di alam liar.
Traffic juga menemukan burung yang diperjualbelikan di tiga pasar itu merupakan burung yang masuk kategori terancam punah. Delapan burung, di antaranya jalak Bali, jalak putih, poksai kuda, gelatik Jawa, poksai Sumatera, nuri bayan, cucakrawa, dan bubut Jawa, sudah masuk daftar merah International Union for Convention Nature sehingga tak boleh diperjualbelikan dengan sembarang. “Ini bencana untuk burung-burung di Indonesia," ujarnya.
Baca Juga:
September lalu, Tempo juga melakukan investigasi di Pasar Pramuka. Hasilnya, sebagian penjual di sana mengakui bahwa burung yang mereka jual ditangkap dari alam liar. Seperti pengakuan Beni, bukan nama sebenarnya, yang menjual sejumlah burung langka seperti cucakrawa. Menurut dia, burung cucakrawa miliknya ditangkap dari hutan di Sumatera. Meski begitu, ada juga yang menjual cucakrawa hasil pengembangbiakan.
Penyidik Badan Konservasi Sumber Daya Alam DKI Jakarta, Adam Mustofa, mengatakan tak semua temuan Traffic benar. Dari delapan burung yang masuk daftar merah seperti dilansir Traffic, hanya jalak Bali yang dilarang diperdagangkan. Sebab, seperti yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, jalak Bali salah satu hewan yang dilindungi negara. “Cucakrawa masih bisa diperjualbelikan,” ucapnya.
Namun, ujar Adam, jika burung itu diekspor, pemilik harus menyertakan dokumen Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES) dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. “Karena itu, cucakrawa masuk daftar merah,” katanya.
Ihwal burung yang diperjualbelikan di Pramuka, hasil tangkapan di alam liar, Adam mengimbau agar Traffic memberikan data lokasi penampungannya ke Balai. “Kasih tahu di mana, akan kami tindak,” ujarnya. Sebab, selama operasi di sana, burung-burung di tiga pasar itu kebanyakan hasil penangkaran.
Direktur Utama PD Pasar Jaya Lutfhi Rachman mengaku kerap menggelar operasi rutin setiap sebulan sekali untuk memberantas perdagangan hewan langka dan dilindungi di tiga pasar itu. Selama operasi tersebut, ia belum menemukan ada hewan langka yang dijual di sana.
Kendati begitu, ia berjanji akan menindak para pedagang yang menjualnya. “Tunjukkan kiosnya, maka akan kami tutup kiosnya,” tutur Lutfhi.
ERWAN HERNAWAN