TEMPO.CO, Pontianak - Kematian warga negara Indonesia yang bekerja di Sarawak, Malaysia, disebabkan oleh banyak hal, dari sakit sampai dimakan buaya.
“Penyebabnya macam-macam, dari kecelakaan kerja, pembunuhan, sakit, bahkan ada yang dilaporkan dimakan buaya,” kata Sekretaris III Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Kuching Marissa Febriana Wardani, Selasa, 29 Desember 2015.
Dia membenarkan bahwa tingkat kematian warga negara Indonesia, dalam hal ini TKI, di Kuching cukup tinggi. “Setahun bisa mencapai 200 orang,” ujarnya.
Sebagai perwakilan negara di Malaysia, sudah menjadi kewajiban KJRI Kuching memfasilitasi kepulangan jenazah tersebut dengan layak. Jenazah ini dipulangkan melalui pintu border Entikong. Kemudian, jika bukan warga Kalimantan Barat, akan diteruskan melalui Bandara Supadio Pontianak untuk diterbangkan ke daerah asalnya.
"Untuk beberapa kasus, ada juga yang langsung dari Kuching via Kuala Lumpur menuju Jakarta. Selanjutnya menuju daerah asal TKI tersebut,” ucapnya.
Marissa mengatakan KJRI Kuching pernah menyampaikan kepada pihak karantina di Entikong dalam rapat pada 2014 bahwa KJRI sudah menetapkan prosedur dokumen pengiriman jenazah. Jenazah harus mendapat surat keterangan kematian dari KJRI. Syarat lainnya adalah export permit dari pemerintah Negara Bagian Sarawak, Malaysia, embalming certificate dari RS Sarawak, dan RS Sarawak. “Dokumen tersebut kami rasa cukup untuk menjamin bahwa jenazah yang dibawa aman,” katanya.
Dalam rapat tersebut, kata Marissa, pihak KJRI juga meminta Pos Pemeriksaan Lintas Batas Entikong dilengkapi fasilitas X-ray, sehingga bisa memastikan jenazah tidak disusupi benda yang dicurigai. Kata dia, tentunya ada fasilitas untuk “membongkar” dan “merapikan” kembali jenazah yang sudah diperiksa.
Isu kejahatan transnasional ini muncul dalam FGD Sinergisitas antarinstitusi di perbatasan Kalimantan Barat, menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN ke depan. “Kalbar mempunyai 966 kilometer daerah yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Selain itu, banyak jalan tikus,” tutur Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Barat Brigadir Jenderal Arief Sulistyanto.
Dia menambahkan, Kalimantan Barat sangat rentan disusupi barang-barang ilegal, bahkan sebelum diberlakukannya MEA. Dari empat border yang ada, tinggal satu border yang belum dilengkapi penjagaan. “Padahal aksesnya sangat baik dan mudah. Border Jagoi Babang ini berbatasan dengan Serikin,” katanya.
ASEANTY PAHLEVI