TEMPO.CO, Jakarta – Pasca-Konferensi Perubahan Iklim ke-21 di Paris (COP21 Paris), Prancis, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menilai banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Yakni implementasi Kesepakatan Paris alias Paris Agreement yang bersinergi dengan kebijakan nasional dan daerah.
Dia optimistis Indonesia dapat melaksanakan Kesepakatan Paris dengan baik. "Karena bisa dibilang Paris Agreement merupakan pengejawantahan Undang-Undang Dasar 1945 dalam konteks lingkungan hidup yang berkeadilan," kata Siti dalam konferensi pers di Grand Sahid hotel, Jakarta Selatan, Jumat, 18 Desember 2015. "Jadi, sebetulnya kita sudah punya basisnya."
Akhir pekan lalu, 195 negara peserta COP21 Paris menandatangani Kesepakatan Paris. Kesepakatan pengganti Protokol Kyoto ini memuat perjanjian pembatasan kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celsius dan melakukan upaya untuk membatasi kenaikan hingga 1,5 derajat Celsius. Rentang batasan ini diambil untuk memungkinkan adaptasi ekosistem alami untuk mendukung ketahanan pangan dan pembangunan yang berkelanjutan.
Untuk mewujudkan tujuan Kesepakatan Paris tersebut Siti mencatat ada beberapa hal yang akan dilakukan Indonesia. Pertama, menerapkan Kesepakatan Paris dalam tataran pemerintah daerah dan pemangku kepentingan. Tujuannya untuk membuat rencana aksi nasional penurunan emisi gas rumah kaca dan mewujudkan target penurunan emisi yang diajukan dalam COP21 Paris. Indonesia menargetkan penurunan emisi sebesar 29 persen dan 41 persen dengan bantuan internasional.
Kedua, Siti juga akan mengidentifikasi variabel penurunan emisi yang perlu disegerakan. Energi dan hutan, misalnya. Dua isu ini, menurut Siti, menjadi isu hangat dalam COP21 Paris. Sebab, banyak pihak percaya dua variabel tersebut yang dapat menurunkan emisi secara signifikan.
Ketiga, evaluasi dan verifikasi kinerja pula menjadi salah satu variabel yang harus dikejar. "Yang nantinya akan dilaporkan tiap lima tahun sekali," kata Siti. "Evaluasi ini akan melibatkan semua kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah."
Yang tak kalah penting, Siti menjelaskan, adalah merestrukturisasi Dewan Pengarah Pengendalian Perubahan Iklim. Sebelumnya dewan memberikan masukan di bidang negosiasi. "Setelah ini akan lebih memberikan pengarahan yang lebih bersifat operasional."
Siti menyebutkan ada beberapa isu yang menghangat dalam COP21 Paris. Pertama, energi baru-terbarukan. "Indonesia sendiri akan membangun sumbernya dari geotermal, energi matahari, dan sumber air," ujarnya. Dia mengatakan Indonesia akan membangun 23 persen sumber energi baru-terbarukan sampai pada 2025.
Kedua ialah pemanfaatan lahan kehutanan dan pertanian. Menurut Siti, hal ini dipercaya dapat mereduksi emisi dan dampak gas rumah kaca. "Karena itu, isu ini diperjuangkan masuk dalam Kesepakatan Paris," ujar Siti.
Di tempat yang sama, Direktur Jenderal Penanganan Perubahan Iklim Kementerian LHK Nur Masripatin mengatakan keberhasilan tercapainya Kesepakatan Paris lebih-kurang salah satunya berkat aktifnya Indonesia dalam perundingan. Dia menyebut ada dua jalur utama yang ditempuh delegasi Indonesia. "Jalur negosiasi yang intensif dan kampanye," tuturnya.
Atas upaya dua jalur tersebut, Indonesia pun berhasil menarik kerja sama bilateral dengan beberapa negara. Dengan Norwegia dan Amerika Serikat dalam hal restorasi lahan gambut, sedangkan dengan Australia dalam bidang kemaritiman. Adapun dengan Jerman dan Inggris, Indonesia mendapatkan bantuan dalam bidang kehutanan.
Sarwono Kusumaatmadja, Kepala Dewan Pengarah Pengendalian Perubahan Iklim, angkat topi atas keberhasilan tersebut. Hanya, memang masih banyak yang harus dikejar Indonesia. "Yakni one map policy dan penurunan emisi dari sektor maritim serta penerbangan," ujarnya.
AMRI MAHBUB