TEMPO.CO, Surabaya - Ketua Partai Islam Damai Aman, Rhoma Irama, mengaku mengikuti perkembangan kasus pencatutan nama Presiden Joko Widodo oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto. Kasus yang sedang bergulir di Mahkamah Kehormatan DPR tersebut, kata Rhoma, hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi semua politikus di Senayan.
“Seyogyanya (mereka) menjadi wakil rakyat yang sebenarnya,” kata Rhoma usai mengisi kuliah umum bertema Mendendang Ruhud Dakwah Kebangsaan untuk Indonesia di aula Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Senin 14 Desember 2015.
Sebelumnya, saat mengisi kuliah umum, Rhoma juga mengatakan bahwa aktivitasnya selama ini tidak bisa dilepaskan dari sisi seni, politik, dan agama. Menurut bekas politikus Partai Persatuan Pembangunan ini, kegiatan politik seharusnya diimbangi dengan sentuhan seni dan tuntunan agama agar jiwa politikus tersebut tidak kering.
Namun Rhoma enggan berandai-andai soal arah persidangan, termasuk sanksi terhadap Setya Novanto. Rhoma meminta masyarakat mengikuti sendiri perkembangannya. “Sidangnya belum selesai, masih banyak kemungkinan,” kata Rhoma yang juga dikenal sebagai Raja Dangdut itu.
Mengenai sikapnya terhadap perpanjangan kontrak karya PT Freeport, Rhoma berujar bahwa pada prinsipnya rakyat Indonesia harus menerima manfaat yang sebesar-besarnya. Adapun rekaman segi tiga antara Novanto, Makruf dan pengusaha Riza Chalid yang membahas soal Freeport, Rhoma enggan menanggapi. “Nanti kalau soal itu,” katanya.
Sementara itu, dalam kelanjutan kasus di MKD, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan dijadwalkan memberikan kesaksian. Nama Luhut disebut hingga 66 kali dalam rekaman tersebut. Namun dalam keterangan persnya pekan lalu, jenderal purnawirawan itu panjang lebar membantah terlibat dalam negosiasi perpanjangan Freeport.
KUKUH S. WIBOWO