TEMPO.CO, Tangerang - Meirika Franola alias Ola alias Tania Fransisca Cumbe alias Rika Safitri (45 tahun), terpidana mati kasus narkotika, ternyata sudah dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Wanita Kelas II Malang, Jawa Timur. Ola, sapaan wanita yang disebut ‘jenderal’ di Lapas Wanita Kelas II Tangerang, Banten, itu hengkang sejak 3 Desember 2015.
“Sudah dipindahkan ke Lapas Wanita Malang oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dalam rangka pembinaan,” kata Kepala Lapas Wanita Tangerang Cipriana Murbihastuti saat dihubungi Tempo, Senin, 14 Desember 2015.
Terkait dengan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang menjatuhkan hukuman mati kepada Ola, Murbihastuti mengatakan yang bersangkutan belum tahu. “Kalau nanti salinan putusannya turun dari Pengadilan Negeri Tangerang, ya dikirim ke Lapas Malang,” katanya.
Pemindahan Ola, menurut Murbihastuti, tidak terkait dengan putusan mati tersebut. Hanya pernah terlontar Ola ingin suasana baru. “Intinya pemindahan Ola karena pembinaan, dan di sana (Lapas Malang) ada pengembangan batik. Dia sangat berbakat, jadi agar lebih tersalur,” ujar Murbihastuti.
Kejaksaan Negeri Tangerang sendiri selaku jaksa penuntut yang mengajukan kasasi ke MA atas perkara nomor perkara 2435K/Pid.Sus/2015, belum menerima salinan putusan MA melalui PN Tangerang. Kepala Kejaksaan Negeri Tangerang Edyward Kaban justru mengetahui putusan MA atas terpidana mati Ola dari pemberitaan media.
“Secara resmi belum ada pemberitahuan mengenai putusan kasasi tersebut. Kami juga masih menunggu untuk kemudian melakukan eksekusi,” kata Edyward. Dia menambahkan, karena yang bersangkutan di dalam penjara, eksekusi bersifat administratif.
Juru bicara MA Suhadi menyatakan, MA menjatuhkan kembali hukuman mati terhadap Ola karena terbukti menjadi perantara narkotika di dalam lembaga pemasyarakatan.
Sidang itu diputus pada akhir November lalu dengan majelis hakim terdiri atas Salman Luthan (ketua), Margono, dan Sumardiyatmo. Suhadi menuturkan, pertimbangan hukum majelis menjatuhkan hukuman mati itu adalah Ola terbukti melakukan transaksi narkotika di lembaga pemasyarakatan dengan praktek tindak pencucian uang hasil transaksi narkotika.
Ola sebelumnya diberikan grasi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kasus pertama Ola terjadi sepuluh tahun lalu, saat terbukti membawa 3,5 kilogram heroin dari London melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta. Pengadilan Negeri Tangerang pada 22 Agustus 2000 menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Namun SBY memberikan grasi, dan Ola hanya dihukum seumur hidup.
Selama di bui, Ola malah kembali berulah. Dia justru mengendalikan peredaran narkotika internasional. Ola dikaitkan dengan penangkapan seorang kurir narkoba bernama Nur Aisyah oleh Bea-Cukai di Bandara Husein Sastranegara, Bandung.
Ketika itu, Aisyah tiba dari Kuala Lumpur, Malaysia, dengan AirAsia dan membawa 775 gram sabu. Saat diperiksa, dia menyebut nama Ola. Pengiriman sabu itu disebut-sebut diatur Ola dari penjara.
Aisyah direkrut dengan bekal uang Rp 7 juta. Dia diperintahkan mengambil sabu dari India. Dia terbang ke India dari Surabaya dan transit di Singapura. Di Bangalore, India, dia bertemu dengan lima warga Nigeria yang memberinya sabu. Barang haram itu diselipkan ke dalam tas punggungnya. Atas perkara ini, Ola dituntut mati dengan dijerat Pasal 142 ayat 2 juncto 137 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Pada kasus keduanya ini, Ola dituntut mati di muka persidangan Pengadilan Negeri Tangerang, 7 Januari 2015, selanjutnya majelis hakim memvonis nihil atas perkara Ola pada 2 Maret 2015. Atas putusan itu, jaksa penuntut umum mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Banten. Namun putusan PT Banten pada 18 Juni 2015 justru menguatkan vonis PN Tangerang, yakni nihil. Jaksa kemudian melakukan upaya hukum ke tingkat MA dengan mengajukan permohonan kasasi. Upaya ini berbuah putusan mati terhadap Ola.
AYU CIPTA