TEMPO.CO, Blitar – Komisioner Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Masrukin tidak memungkiri bahwa tingkat partisipasi pemilih pilkada di wilayahnya rendah. Dibandingkan Kabupaten Tasikmalaya dan Timor Tengah Selatan yang sama-sama diikuti calon kepala daerah tunggal, Kabupaten Blitar yang terendah.
Namun dia tidak setuju bila rendahnya partisipasi pemilih dianggap karena kurangya sosialisasi KPU. “Sosialisasi sudah maksimal, semua orang tahu 9 Desember itu ada pilkada,” katanya kepada Tempo, Senin, 14 Desember 2015.
Tingkat partisipasi yang hanya 58 persen versi hitung cepat, menurut dia, lebih dipengaruhi faktor nonpolitik. Musim penghujan dinilai Masrukin menjadi faktor utama enggannya warga pergi ke TPS.
Bagi masyarakat Kabupaten Blitar yang mayoritas berprofesi sebagai petani, datangnya musim hujan menjadi berkah bagi sawah ladang yang kerontang. Karena itu, mereka memanfaatkan situasi ini untuk mengolah lahan. Pada saat pemungutan suara berlangsung, Blitar memang diguyur hujan deras.
Selain itu, banyaknya warga Blitar yang merantau ke luar negeri turut menjadi sebab minimnya pemilih. Blitar memang salah satu penyumbang tenaga kerja Indonesia (TKI) ke mancanegara selain Kabupaten Tulungagung.
Minimnya pemilih sudah diprediksi KPU saat melakukan simulasi pencoblosan di salah satu TPS. Dari 413 peserta simulasi yang tercatat di TPS tersebut, 70 orang tak datang karena lebih memilih ke ladang. “Ada yang hanya berdiam diri di rumah,” kata Masrukin.
Di sisi lain Masrukin mengakui jika geliat pilkada dengan calon tunggal ini tak seheboh pemilihan legislatif yang memiliki banyak kekuatan penggerak di lapangan. Selain itu figur calon turut mempengaruhi keinginan masyarakat untuk memilih di TPS.
Solichana, warga Desa Kunir, Kecamatan Wonodadi, Kabupaten Blitar mengaku sengaja tak memilih karena alasan figur calon yang tak cocok dengan hati nuraninya. Seluruh anggota keluarganya pun, kata dia, juga tak datang ke TPS.
Menurut dia pilkada dengan calon tunggal tak memberi pilihan calon pemimpin kepada masyarakat. “Kita seperti dipaksa untuk memilih calon yang ada,” kata Solichana.
HARI TRI WASONO