TEMPO.CO, Jakarta - Politikus PDI Perjuangan, Aria Bima, mengatakan desakan pencopotan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto merupakan momentum pembenahan lembaga legislatif. Dia meminta agar semua pimpinan DPR dikocok ulang.
“Kocok ulang harus dilihat dari substansinya. Kalau hanya mengganti Setya Novanto, tidak menjamin DPR akan lebih baik,” kata Aria Bima saat dihubungi Tempo, Rabu, 9 Desember 2015.
Menurut dia, jika pada akhirnya keputusan MKD memberikan sanksi berat dan hanya mengganti posisi Setya Novanto, hal itu tidak akan memberikan ruang bagi partai pendukung pemerintah untuk mencalonkan menjadi pimpinan DPR.
“Sebab dalam Undang-Undang MD3, pemilihan Ketua DPR sudah dilakukan secara paket. Itu kesalahan sejak awal. Jadi proses pemilihan pimpinan DPR secara paket ini harus diubah,” katanya.
Setya Novanto dan pimpinan lainnya terpilih saat rapat paripurna mengesahkan paket pimpinan DPR periode 2014-2019. Keputusan itu diambil secara aklamasi lantaran hanya ada satu paket pimpinan. Paket pimpinan disahkan setelah masing-masing fraksi mengusulkan formasi paket yang terdiri atas lima orang dari fraksi yang berbeda.
Partai koalisi pemerintah saat itu tidak bisa mengajukan paket pimpinan karena hanya diisi empat partai. Proses pemilihan paket pimpinan itu pun diwarnai aksi walk-out. Aksi itu diawali oleh PKB. Disusul Hanura, PDIP, dan NasDem. Partai pendukung pemerintah sempat membuat pimpinan DPR tandingan.
Menurut Aria Bima, dengan aturan MD3 tersebut, partai koalisi pemerintah akan tetap sulit untuk bisa mengajukan calon pengganti Setya. Dalam Pasal 84 UU MD3 disebutkan pimpinan DPR diusulkan dari fraksi-fraksi dan bersifat tetap. Pasal 87 UU tersebut menyebutkan pula, bila salah satu pemimpin DPR diganti, penggantinya harus berasal dari partai yang sama.
“Publik sudah tahu kualitas pimpinan DPR sekarang tidak kredibel dan tiga punya wibawa di anggota. Selain masalah Freeport, banyak sekali kasus dugaan pelanggaran. Jadi seharusnya sistem pemilihan dikembalikan seperti saat periode Agung Laksono dan Marzuki Alie,” katanya.
Sebelumnya, politikus Partai Golkar Agung Laksono juga angkat bicara soal Setya Novanto. Agung Laksono yang juga Ketua DPR periode 2004-2009 ini menilai perlu ada wacana kocok ulang pimpinan DPR jika Ketua DPR Setya Novanto mengundurkan diri atau dimundurkan dari jabatannya berdasarkan hasil sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
"Menurut saya kalau saudara Novanto dimundurkan atau mengundurkan diri, kocok ulang ketua DPR harus dilakukan," kata Agung. Menurut dia, pergantian pimpinan DPR bukan mustahil menyusul dugaan pelanggaran etik Ketua DPR Setya Novanto atas kasus permintaan saham PT Freeport Indonesia.
Agung menyebutkan pada periode-periode sebelumnya, posisi Ketua DPR selalu dijabat politisi partai politik pemenang Pemilu, kecuali yang saat ini. "Ketua DPR periode 2004-2009 dipimpin Golkar di mana saya jadi ketua DPR-nya dan pada periode 2009-2014 dipimpin Pak Marzuki Alie karena Partai Demokrat menang pemilu," kata Agung.
Menurut Agung, menjelang berakhir masa jabatan DPR periode 2009-2014 ada manuver politik dari Koalisi Merah Putih (KMP) yang mengubah "kebiasaan" itu melalui UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3).
"Menjelang berakhirnya masa jabatan dewan, di situ diubah bukan pemenang Pemilu. Kita tahu Pemilu 2014 yang menang adalah PDIP. Tapi karena persekongkolan KMP, ada perombakan UU MD3 yang seolah dipaksakan," kata Agung.
Agung mengharapkan kocok ulang pimpinan DPR dan pimpinan dikembalikan kepada yang "berhak" sesuai desain politik sebelumnya bahwa pemenang Pemilu berhak mendapat posisi ketua DPR.
ANGGA SUKMAWIJAYA