TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Center for Information and Develompent Studies (CIDES) Muhammad Rudi Wahyono menilai pemerintah takut mengumumkan para perusahaan yang menjadi penyebab terjadinya kebakaran lahan dan hutan, baik di Sumatera maupun Kalimantan.
"Walaupun tidak diomongkan, sudah kelihatan pemerintah takut mengumumkan karena takut kehilangan investasinya," kata dia kepada Tempo di Jakarta, Selasa malam, 24 November 2015.
Menurut data CIDES, Singapura dan Malaysia memiliki investasi besar di bidang perkayuan, kertas, dan kelapa sawit yang bedomisili di Indonesia. Jika dijumlah, ada aliran dana sebesar US$ 76,138 miliar yang tercatat di bursa, baik Indonesia Stock Exchange (IDX), Singapura Exchange (SGX), maupun Kuala Lumpur Stock Exchange (KLSE). Jumlah itu, kata Rudi, belum termasuk perusahaan yang bersifat privat atau tidak mencatatkan nilai investasinya di bursa.
Di SGX tercatat ada US$ 31,098 miliar nilai investasi dari perusahaan yang ada di Indonesia, belum termasuk yang bersifat privat. Sementara itu, bursa di KLSE tercatat ada US$ 31,1 miliar, dan di Bursa Efek Indonesia hanya US$ 13,94 miliar.
Rudi mengatakan masih ada minimal antara US$ 30-50 miliar yang tidak tercatat di bursa karena bersifat privat sehingga total dana investasi bisa senilai US$ 130-an miliar.
"Uang yang parkir di Indonesia hanya 18 persen dari total yang tercatat sekitar US$ 76 miliar. Artinya Indonesia ibarat menernakkan uang mereka, dan dampak buruknya kita yang merasakan," katanya.
Rudi menilai harusnya semua investasi bisa tercatat 100 persen di Indonesia karena segala aktivitas perkebunan kelapa sawit dilakukan di Indonesia, dan dampak lingkungan juga dialami Indonesia.
Namun Rudi menilai pemerintah tidak bisa berbuat banyak. "Pemerintah tidak bisa apa-apa, seperempat dari total investasinya saja tidak ada di Indonesia," ujar Rudi.
Rudi mengatakan, perusahaan yang terbukti membakar lahan ada sekitar 430 perusahaan dan kebanyakan asing. Namun, kata dia, hanya dua perusahaan yang diproses. Selain itu, pemerintah hanya menyatakan lahan yang terbakar diambil alih oleh negara sekitar 1,7 juta hektare dari total lahan berjumlah sekitar 5,7 juta hektare.
Rudi menjelaskan lahan itu harus diminta dan dikelola negara. Selain itu, perusahaan pembakar hutan harus didenda, dan dananya dapat digunakan untuk mengurangi kerugian negara.
"Tapi saya heran kenapa hal ini tidak dijalankan, dan kasusnya malah hilang. Pemerintah harus berani mengeluarkan regulasi bahwa investasi harus di sini, dananya di sini," kata Rudi.
DANANG FIRMANTO