TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyambut baik pembebasan Filep Karma dari Lembaga Pemasyarakatan II A Abepura, Papua pada Kamis kemarin. “Selamat datang kembali, Bapak Filep Karma,” kata Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa dalam rilis yang diterima Tempo pada Jumat, 20 November 2015.
Filep Karma adalah pejuang pembebasan Papua yang ditangkap pada 1 Desember 2004, ketika menaikkan bendera Bintang Kejora. Bintang Kejora merupakan bendera Organisasi Papua Merdeka di Lapangan Trikora, Abepura. Filep berorasi serta mengungkapkan kritik dan kekecewaannya terhadap berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat.
(Baca juga: Dibebaskan, Tapol Papua Filep Karma Syok)
Ia kemudian dijatuhi hukuman penjara 15 tahun akibat perbuatannya tersebut. Namun dia dibebaskan pada 19 November 2015 atau hanya menjalani hukuman selama 10 tahun 11 bulan.
Filep merupakan satu dari puluhan tahanan politik Papua. Menurut LBH Jakarta, sedikitnya ada 44 tapol Papua yang masih mendekam di sejumlah tahanan hingga September 2015. Mereka yang dibebaskan, ucap Alghiffari, masih harus menghadapi tuduhan dan menjalani investigasi.
LBH Jakarta menganggap penyelesaian masalah pelanggaran HAM dan ketidakadilan yang terjadi di Papua tidak akan bisa dilakukan jika rakyat Papua mengalami pembungkaman ketika mengungkapkan kritik dan kekecewaannya terhadap pemerintah. Jaminan kebebasan berekspresi dan berpendapat rakyat Papua adalah hal yang harus dibangun. “Untuk kehidupan rakyat Papua yang lebih baik.”
Mereka menganggap hal tersebut merupakan yang paling utama, terlebih pendekatan yang dilakukan pemerintah selama ini kepada rakyat Papua adalah pendekatan dengan kekerasan dan pemberangusan pembebasan. Selain itu, harus ada perubahan pendekatan ekonomi dan pembangunan terhadap masyarakat Papua. “Penuhi dulu hak rakyat yang paling dasar baru bicara hal lain,” tuturnya.
LBH Jakarta juga menuntut Presiden Joko Widodo dan Kepala Kepolisian RI agar kejadian yang menimpa Filep tidak terjadi lagi pada masa depan. Sebab, bagi LBH Jakarta, penangkapan Filep sejak awal sudah bertentangan dengan Pasal 28 Undang-Undang Dasar yang menjamin kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat warga Negara Indonesia. “Pasal inilah yang paling sering dilanggar aparat di Papua,” ucapnya.
(Baca juga: Tim Audit HAM Papua dari Masa Integrasi hingga Tolikara)
DIKO OKTARA