TEMPO.CO, Semarang - Para peneliti Kementerian Agama di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang mengkaji gerakan komunisme Islam yang terjadi di Surakarta mulai 1914 sampai 1942. Kajian gerakan yang mengulas peran Haji Misbach dengan gerakan perlawanan kolonial di Surakarta itu membongkar peristiwa yang selama ini dianggap tabu oleh sebagian masyarakat.
"Kajian ini memberikan pemahaman di masyarakat bahwa munculnya komunisme di Surakarta dari era 1914 hingga 19126 berbeda dengan komunis era berikutnya," kata Samidi, peneliti lektur dan khazanah keagamaan, Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang, seusai membedah buku gerakan komunisme Islam Surakarta, Jumat, 20 November 2015.
Ia sengaja mendatangkan penulis buku Syamsul Bakri untuk membedah hasil penelitian komunisme dan Islam di Surakarta. Hasil kajian buku itu menunjukkan gerakan komunis yang ditulis berbeda dengan komunis di era 1948 dan 1965.
"Pada era 1914 komunis sangat berbaur dengan agama dan menjadi ideologi besar," tambah Samidi.
Menurut Samidi, kajian itu menjadi tambahan bagi data lembaganya yang hendak meneliti studi kasus munculnya bendera komunis di Boyolali dan Surakarta belum lama ini. Saat diskusi bedah buku itu, ia menyatakan tak takut ada tekanan karena penelitian itu bagian dari program kerja lembaganya.
"Penulisan sejarah itu bagian dari bahan penelitian. Apalagi tema komunisme Islam," jelas Samidi.
Samidi berharap kajian tentang sejarah komunisme menjadi pencerahan publik dan mengupas perbedaan sejarah yang dipelintir oleh kekuasaan.
Syamsul Bakri, penulis buku gerakan komunisme Islam di Surakarta sejak 1914 sampai 1942, saat diskusi menyatakan tokoh ulama Haji Misbach, pendiri Muhammadiyah, sebagai aktor PKI Solo.
"Misbach dan Dahlan (pendiri Muhamadiyah) sangat akrab mendirikan jamaah-jamaah, bahkan protes penahanan Haji Misbach oleh kolonial dilakukan pertama kali oleh Dahlan," kata Syamsul Bakri.
Dalam bukunya ditunjukkan bahwa Haji Misbach memahami komunisme dari tulisan Marco Kartodikromo dan terbitan majalah koran pergerakan saat itu. "Misbach sebagai santri suka membaca bacaan umum, berbeda dengan kalangan santri saat itu," tambah Syamsul.
Syamsul menyebutkan di Surakarta Misbach juga secara resmi mendirikan PKI selain menjadi ketua SI merah. Namun Syamsul menegaskan, PKI Solo yang dipimpin Misbach sangat independen dan tak mau diatur oleh PKI pusat.
Kondisi itu membuat PKI di Surakarta dinilai menjadi organisasi sosial yang lebih berbahaya daripada PKI di daerah lain. Tercatat selain beranggotakan orang-orang abangan, PKI Surakarta mempunyai basis santri. "Ini menjadikan komunisme Islam lebih bahaya bagi Belanda, sulit dikontrol," katanya.
EDI FAISOL