TEMPO.CO, Jakarta - Komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution mendukung rencana Agus Sunyoto, Ketua Pengurus Pusat Lembaga Seni Budaya Muslimin Nahdlatul Ulama (PP Lesbumi NU), untuk merancang sebuah forum pengadilan semua pelanggaran HAM yang pernah terjadi dalam sejarah Indonesia.
"Kami dapat memahami aspirasi Agus dan mungkin juga suara mayoritas rakyat Indonesia yang ingin memperlakukan sejarah sosial bangsanya sendiri secara adil dan beradab," kata Maneger dalam pernyataan tertulisnya Ahad, 15 November 2015.
Penerimaan ini ia dasarkan dari rasa keparcayaan bahwa Indonesia sedang dan akan bekerja untuk menyelesaikan masalahnya sesuai dengan mekanisme hukum nasional Indonesia sendiri demi kehormatan (dignity) bangsa. "Dalam perspektif HAM, kehormatan itu hal penting,"tulis Manager.
Kepercayaan ini pula yang membuat Komnas HAM tidak dalam posisi ikut menginiasi dan juga tidak hadir dalam acara International People's Tribunal (IPT) 1965 di Den Haag."IPT 1965 di Den Haag itu adalah forum "pengadilan rakyat" yang tidak terkait dengan lembaga resmi seperti ICC (International Criminal Court) atau badan HAM tertentu di PBB. Putusan "pengadilan rakyat" partikelir ini pun tidak punya kekuatan hukum mengikat, tapi bisa memperkuat advokasi, baik di level nasional maupun internasional," katnya berargumentasi.
Rencana pembuatan pengadilan sejarah ini sendiri di mulai Agus karena anggapan terhadap forum pengadilan HAM, hanya bisa digelar di negara orang-orang kulit putih, masih sangat besar. Lebih jauh, Agus juga berkata bahwa forum pengadilan ini akan menuntut Belanda karena keterlibatannya dalam kasus Pemberontakan PKI 1948 di Madiun dan meletuskan G30S/PKI.
NU menurutnya, juga akan menuntut seluruh aksi pelanggaran HAM mereka selama masa penjajahan, perang kemerdekaan, dan kasus serupa lainnya pasca pengakuan kemerdekaan.
Maneger mengatakan, sikap yang diambil oleh NU ini bisa jadi juga merupakan sikap warga Indonesia secara keselurahan. "Aspirasi warga NU yang disuarakan Agus itu tentu bukan hanya suara warga NU, tapi juga suara warga Muhammadiyah, suara umat Islam (mungkin juga suara umat beragama lainnya), bahkan mungkin suara mayoritas rakyat Indonesia yang menyadari denyut nadi sejarah bangsanya sendiri," ujarnya.
Menurutnya aspirasi tersebut dilandasi oleh keinginan luhur agar bangsa Indonesia untuk berkehormatan dan berdaulat di seluruh bidang kehidupan bangsa, baik politik, ekonomi, sosial, budaya, maupun dibidang hukum.
EGI ADYATAMA