TEMPO.CO, Banda Aceh - Politikus Partai Aceh sekaligus anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, Iskandar Usman Al-Farlaky, meminta pemerintah pusat segera memenuhi seluruh konsesus politik terhadap Aceh. Hal itu sebagaimana telah disepakati dalam Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, 15 Agustus 2005 silam.
Iskandar juga meminta ketua Crisis Management Initiative (CMI) Martti Ahtisaari selaku mantan mediator perdamaian RI-GAM "agar turut mengawal proses implementasi konsensus tersebut." Demikian ungkap Iskandar pada puncak peringatan 10 tahun MoU Helsinki dan perdamaian Aceh, Ahad, 15 November 2015.
Seremonial peringatan 10 tahun damai Aceh di Taman Ratu Safiatuddin turut dihadiri Wakil Presiden sekaligus tokoh yang mempelopori perdamaian di Aceh, Jusuf Kalla.
"Sudah 10 tahun sejak MoU Helsinki ditandatangani, masih ada kewenangan yang dijanjikan bagi Aceh, belum ada implentasi," kata Iskandar.
Iskandar berujar, momentum peringatan 10 tahun MoU Helsinki ini adalah saat yang tepat untuk mengingatkan kembali komitmen pemerintah pusat terhadap Aceh. "Semua pihak yang berkepentingan memajukan Aceh harus melakukan desakan."
Hal itu, ucap Iskandar, penting dilakukan agar semua kewenangan yang dijanjikan khusus bagi Aceh dapat terealisasi. Terlebih lagi terkait penuntasan program reintegrasi, serta pemberdayaan mantan kombatan, tapol/napol, dan masyarakat korban konflik. "Ini merupakan tugas semua pihak yang menginginkan agar perdamaian di Aceh dapat berlangsung abadi, termasuk mediator perdamaian RI-GAM, yaitu Bapak Martti Ahtisaari selaku Ketua CMI," ungkapnya.
Martti sebagai pihak yang memprakarsai perdamaian RI-GAM punya tanggung jawab moral terhadap tindak lanjut hasil perundingan tersebut. "Selain berterima kasih kepada beliau, saya juga harus sampaikan bahwa Pak Martti mestinya juga bertanggung jawab terhadap implementasi seluruh kesepakatan yang diprakarsainya itu," kata Iskandar.
Iskandar mengingatkan agar pemerintah Aceh bersama-sama pemerintah kabupaten/kota melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap tata kelola anggaran dan manajemen pembangunan. Momentum peringatan perdamaian ini mestinya digunakan sebagai sarana melakukan pembenahan.
Perdamaia, ujar Iskandar, sejatinya harus ditujukan bagi kedamaian seluruh rakyat, yang terwujud melalui peningkatan kesejahteraan, terbukanya lapangan kerja, dan tumbuhnya sektor usaha masyarakat. "Bukan cuma pejabatnya saja."
Gubenur Aceh Zaini Abdullah mengatakan, ada empat poin yang menjadi isu utama dan harus dipertimbangkan dalam usia 10 tahun damai Aceh. Pertama, jika perdamaian dikatakan berhasil, perlu dikaji faktor yang mendukung keberhasilannya.
Kedua, jika ada yang mengganjal atau belum selesai, perlu dibahas faktor penyebabnya. Ketiga, jika ada yang mesti diperkuat, perlu diketahui apa dan bagaimana upaya memperkuatnya. Keempat, jika ada hal yang perlu diantisipasi, harus disiapkan langkah untuk mengatasinya. "Tujuannya mendorong damai Aceh agar memberi hasil yang lebih maksimal bagi pembangunan dan kesejahteraan rakyat."
Puncak peringatan 10 tahun damai kali ini adalah lanjutan sejumlah kegiatan yang telah dilaksanakan sebelumnya, yakni pada 15 Agustus 2015. Sejumlah tamu negara dan tamu luar negeri ikut hadir. Di antaranya adalah bekas Ketua Aceh Monitoring Mission, Pieter Feith, dan Director Henry Dunant Centre for Asia, Mr. Michael Vatikiotis.
ADI WARSIDI