Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Festival Borobudur: Pesta di Ketinggian Gunung Sumbing

image-gnews
Salah satu cagar alam yang masuk dalam 7 keajaiban dunia pada abad ke-9, Candi Borobudur terlihat berkilau dengan sorotan sinar lampu biru dalam perayaan ulang tahun PBB ke-70 di Magelang, Jawa Tengah, 24 Oktober 2015. AP Photo
Salah satu cagar alam yang masuk dalam 7 keajaiban dunia pada abad ke-9, Candi Borobudur terlihat berkilau dengan sorotan sinar lampu biru dalam perayaan ulang tahun PBB ke-70 di Magelang, Jawa Tengah, 24 Oktober 2015. AP Photo
Iklan

TEMPO.CO, Magelang - Di pinggang Gunung Sumbing, 1700 meter dari permukaan laut, tepatnya di Desa Kradengan, sebuah festival berlangsung hangat. Sedikitnya lima ratus orang, warga desa dan pengunjung yang terdiri dari mahasiswa, penulis, jurnalis, turis mancanegara, dan peneliti dari berbagai tempat datang meramaikan Kradengan yang sepanjang hari dipenuhi kabut. “Monggo, monggo pinarak — mari, mari, silakan singgah,” begitu penduduk menyambut para pengunjung festival. 

Hajatan itu bernama Festival Penulis dan Budaya Borobudur, yang tahun ini adalah penyelenggaraan keempat kalinya. Tema festival tahun ini adalah “Gunung, Bencana, dan Mitos di Nusantara”. Arkeolog, antropolog, ahli sejarah, penulis, didatangkan untuk berdiskusi di forum-forum festival. Erupsi gunung berapi, mulai dari Toba, Tambora, Merapi, dalam sejarah memang berperan signifikan dalam menghapus jejak peradaban kuno. “Gunung adalah pusat peradaban di nusantara. Membicarakan gunung adalah membicarakan peradaban,” kata Seno Joko Suyono, wartawan Tempo yang juga salah satu penggagas festival ini. Lokasi festival ini pun dipiih bergiliran di antara lima gunung di kawasan Jawa Tengah, yakni Gunung Merapi, Merbabu, Sindoro, Menoreh, dan Sumbing.

Tidak seperti halnya festival lain yang dipenuhi kemudahan turistik seperti penginapan dan makanan yang serba lezat, festival ini justru mengutamakan hadirnya pengalaman riil membaur bersama penduduk lokal. Yang terjadi adalah hajatan komunitas, berbagai lapisan masyarakat berpesta bersama. “Kami ingin peserta festival turut menghirup udara gunung, merayakan kehidupan yang diberikan gunung,” kata Romo Mudji Sutrisno, salah satu pendiri Festival Borobudur.

Maka, pada Jumat siang, 13 November, sekitar 300 peserta berangkat dengan menumpang bus yang disediakan panitia, dari Borobudur menuju Kradengan. Tak semua rute bisa dijangkau bus, sehingga peserta harus menyambung perjalanan dengan berjalan kaki. Jalanan menanjak berliku, kendati cuma tak lebih dari 500 meter, cukup menyulitkan peserta. “Waduh, sampai ngos-ngosan saya,” kata Gatut Wicaksana, salah seorang peserta.

Keringat lelah seolah terbayar tuntas saat sampai di tujuan. Kopi dan teh panas menanti, begitu pula hidangan khas Kradengan yang disajikan ibu-ibu setempat. Pecel daun pepaya, pisang goreng, tempe bacem, terasa berkali lipat lezatnya dibanding makanan serupa di restoran di kota besar. “Jangan lupa mencicipi yang ini, Mbak. Tumis belut campur petai,” kata seorang ibu sambil  menyodorkan piring hidangan. 

Sore yang berkabut terasa meriah di Kradengan. Obrolan hangat antara para pengunjung dan warga desa memenuhi udara. Gamelan ditabuh. Sebagian warga desa bersiap untuk pertunjukan yang akan digelar malam harinya. Semua orang bersemangat menanti malam, sambil berharap hujan tak turun di Kradengan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Malam hari tiba. Orang-orang berduyun datang memenuhi halaman balai desa. Sambil bersila di pelataran, berbalut jaket dan sarung, hadirin menikmati tarian “Jeger” dari Sanggar Sumberanom, Banyuwangi. Kemudian, wayang gunung hadir membawa pesan pentingnya menjaga gunung. “Jika gunung terbakar, maka terbakar pula kehidupanmu,” kata Dalang Sih Agung, yang membawakan pentas wayang kontemporer malam itu.

Malam semakin hangat saat para penyair, Eka Budianta, Joko Pinurbo, dan Gunawan Maryanto, membacakan puisi. Seolah tersihir, ratusan hadirin mendengarkan kata-kata puisi dengan hikmat. Puncaknya, malam yang hangat itu ditutup dengan penampilan musik Grup Brayat Endah Laras, dengan lagu-lagu yang menggugah patriotisme. “Mana mungkin aku bahagia, melihat rakyat masih miskin,” lantunan lagu Endah Laras, yang namanya kian meroket setelah dia pentas di pembukaan Frankfurt Book Fair.

Maka, berakhirlah malam di Kradengan, menjelang tengah malam peserta festival kembali ke area Borobudur dengan bus. “Mengharukan sekali menyaksikan para penyair, seniman, peneliti, mendatangi warga desa, membacakan puisi, bermusik, di pelosok yang jauh, di ketinggian 1700 meter,“ kata Yoke Darmawan, Direktur Festival Borobudur. “Ini memang festival yang berbeda.”

MARDIYAH CHAMIM (MAGELANG)

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan

BMKG Yogyakarta Keluarkan Peringatan Cuaca Ekstrem, Wisatawan Perlu Waspada saat ke Pantai

15 hari lalu

Wisatawan mengunjungi objek wisata Pantai Parangkusumo di Bantul, DI Yogyakarta, Jumat 1 Januari 2021. Pascapenutupan kawasan wisata pantai selatan Yogyakarta pada malam pergantian tahun baru, pengunjung memadati kawasan tersebut untuk menghabiskan libur tahun baru meskipun kasus COVID-19 di Yogyakarta terus meningkat. ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah
BMKG Yogyakarta Keluarkan Peringatan Cuaca Ekstrem, Wisatawan Perlu Waspada saat ke Pantai

Seorang wisatawan asing asal Hungaria juga dilaporkan sempat terseret ombak tinggi saat sedang melancong di Pantai Ngandong, Gunungkidul, Yogyakarta.


Yogyakarta Tutup TPA Piyungan, Bagaimana Pengelolaan Sampah Destinasi Wisata Itu di Masa Depan?

21 hari lalu

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta secara simbolik melakukan penutupan TPA Piyungan pada awal Maret 2024. TPA Piyungan selama ini menampung sampah dari Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan Bantul. (Dok. Istimewa)
Yogyakarta Tutup TPA Piyungan, Bagaimana Pengelolaan Sampah Destinasi Wisata Itu di Masa Depan?

Penutupan TPA Piyungan diharapkan bakal menjadi tonggak perubahan dalam pengelolaan sampah di Yogyakarta.


Sokong Wisata Berkualitas, Yogyakarta Bentuk Ekosistem Kota Kreatif

23 hari lalu

Sejumlah karya industri kreatif dipamerkan di Pusat Desain Industri Nasional (PDIN) di Yogyakarta.  (Dok. Istimewa)
Sokong Wisata Berkualitas, Yogyakarta Bentuk Ekosistem Kota Kreatif

Yogyakarta memiliki unsur 5K yaitu Kota, Korporasi, Komunitas, Kampung dan Kampus, yang jadi modal mewujudkan Yogyakarta sebagai Kota Kreatif.


3 Festival Budaya Jepang yang Terbesar di Negeri Sakura

25 hari lalu

Puluhan ribu warga berpartisipasi dalam Festival Kanda Matsuri, Tokyo. Foto: @tokyoartsandculture
3 Festival Budaya Jepang yang Terbesar di Negeri Sakura

Tiga festival budaya Jepang terbesar yang dirayakan di tanah Jepang.


Bersama Baznas, Berkolaborasi Menghimpun Potensi Zakat

28 hari lalu

Bersama Baznas, Berkolaborasi Menghimpun Potensi Zakat

Baznas hingga saat ini telah melakukan kolaborasi penuh dengan Lembaga Amil Zakat


Mengenal Tradisi Selasa Wagen, Hari Saat Pedagang Malioboro Beristirahat dan Bersih Bersih

30 hari lalu

Tradisi Selasa Wagen yang meliburkan para pedagang di kawasan Malioboro Yogyakarta untuk bersih bersih kawasan kembali digelar Selasa (27/2). (Dok. Istimewa)
Mengenal Tradisi Selasa Wagen, Hari Saat Pedagang Malioboro Beristirahat dan Bersih Bersih

Selasa Wagen di kawasan Malioboro berlangsung setiap 35 hari sekali merujuk hari pasaran kalender Jawa.


Jurus Yogya Lestarikan Aksara Jawa, Gelar Sekolah Khusus di Seluruh Kampung

36 hari lalu

Salah satu peserta saat mengikuti pembelajaran pawiyatan aksara Jawa di Kota Yogyakarta. (Dok. Istimewa)
Jurus Yogya Lestarikan Aksara Jawa, Gelar Sekolah Khusus di Seluruh Kampung

Pawiyatan aksara Jawa ini digelar serentak di 30 kampung mulai 20 Februari hingga 5 Maret 2024 di Kota Yogyakarta.


Gratis, Tour de Kotabaru Ajak Wisatawan Lari Santai Lintasi Heritage Yogyakarta Pekan Ini

39 hari lalu

Lokasi Boulevard Kotabaru yang memanjang di tengah Jalan Suroto itu berada di kawasan heritage Kotabaru, Yogyakarta. Tempo/Pino Agustin Rudiana
Gratis, Tour de Kotabaru Ajak Wisatawan Lari Santai Lintasi Heritage Yogyakarta Pekan Ini

Kotabaru di masa silam merupakan permukiman premium Belanda yang dibangun Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono VII sekitar 1877-1921.


Malioboro Lengang saat Pemilu, Sultan HB X Beri Pesan untuk Capres-Cawapres dan Pendukungnya

44 hari lalu

Kawasan Titik Nol Kilometer, ujung Jalan Malioboro Yogyakarta tampak lengang saat pelaksanaan Pemilu pada Rabu siang, 14 Februari 2024. (Tempo/Pribadi Wicaksono)
Malioboro Lengang saat Pemilu, Sultan HB X Beri Pesan untuk Capres-Cawapres dan Pendukungnya

Susana berbeda terlihat di kawasan wisata Kota Yogyakarta saat Pemilu. Kawasan yang biasanya ramai oleh wisatawan tampak lengang.


Wisatawan Perlu Tahu, Dua Kawasan di Kota Yogyakarta Ini Jadi Pusat Kampanye Terbuka

22 Januari 2024

Stadion Mandala Krida Yogyakarta (Dok. Pemda DIY)
Wisatawan Perlu Tahu, Dua Kawasan di Kota Yogyakarta Ini Jadi Pusat Kampanye Terbuka

Di Kota Yogyakarta, ada dua tempat yang disiapkan menjadi pusat kampanye terbuka, kemungkinan akan padat.