TEMPO.CO, Malang - Ikatan Gaya Arema (Igama), sebuah komunitas yang juga kelompok kerja advokasi gay di Kota Malang, Jawa Timur, menyayangkan teror dan intimidasi terhadap forum diskusi 'The Right Minorities in a Globalized World'. Forum diskusi itu sejatinya digelar BEM FISIP Universitas Brawijaya, Malang pada 11-12 November 2015 lalu tapi akhirnya dibatalkan.
Teror dan pembatalan itu tak menunjukkan bahwa seluruh warga negara memiliki hak yang sama di depan hukum. "Kami memiliki hak asasi dan hak yang sama secara hukum," kata Ketua Igama, Andi, Jumat, 13 November 2015.
Menurut dia, Indonesia yang menjunjung demokrasi dan hukum seharusnya tak ada perlakuan dikriminasi. Sebab, gay, waria, lesbi, dan transeksual (biasa dikenal sebagai LGBT) juga menjadi bagian dari kelompok masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Apalagi forum diskusi yang rencananya diselenggarakan di Hotel Swiss Bell In ini menghadirikan akademisi dan praktisi. Sehingga, acara tersebut bisa menjadi bagian edukasi kepada masyarakat untuk melindungi hak-hak kaum minoritas seperti kaum LGBT. "Selama ini secara pribadi kami juga sering mendapat perlakuan diskriminasi," katanya.
Namun, secara organisasi, Ikata Gaya Arema dipastikannya tak pernah mendapat diskriminasi, teror, ataupun intimidasi. Igama yang juga menjadi bagian kelompok kerja advokasi sekretariat nasional gay, waria, (Gaya Warna Lentera) telah berdialog dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk memberikan perlindungan yang sama terhadap kaum minoritas.
Baca Juga:
Rencananya, diskusi 'The Right Minorities in a Globalized World' diselenggarakan di Hotel Swiss Bell In Malang, 11-12 November 2015 lalu. Narasumber yang dihadirkan di antaranya Direktur Jenderal HAM Kementerian Luar Negeri Dicky Komar, perwakilan UNDP Hendry Yulius Wijaya, pengajar Universitas Frankfrut Frank Large, aktivis LGBT Dede Utomo, dan Wakil Sekretaris PWNU Ahmad Rubaidi.
Namun, sepekan sebelum acara, panitia diteror pesan pendek dan telepon. Padahal mereka telah memesan tempat jauh hari, dan sekitar 90 mahasiswa telah memesan tiket diskusi. Setiap peserta membayar Rp 300 ribu.
EKO WIDIANTO