TEMPO.CO, Semarang - Penganut Kepercayaan Sapta Darma menjadi kelompok minoritas di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Pusat perkembangan penganut kepercayaan itu berada di di Dukuh Blando, Desa Plawangan, Kecamatan Kragan, Kabupaten Rembang. Di kampung itu terdapat 100 orang Penganut Kepercayaan Sapta Darma.
“Jumlah itu mencapai 250 orang bila dihitung dengan jumlah penganut se Kabupaten Rembang,” kata Ketua Persatuan Sapta Darma (Persada) Kabupaten Rembang, Sutrisno, Rabu 11 November 2015.
Sutrisno menyatakan lembaga Penganut Kepercayaan Sapta Darma yang ia pimpin sudah terdaftar di kantor Kesatuan kebangsaan Politik dan Perlindungan Masyarakat Rembang. “Selain itu kami juga sudah terdaftar di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata,” kata Sutrisno menambahkan.
Kepercayaan Sapta Darma mengajarkan Budi Pakasih yang luhur untuk kebaikan seluruh alam dan utamanya manusia. Kepercayaaan itu didirikan oleh Hardjosapoero tahun 1952 di Pare, Kabupaten Kediri. Hardjosapoero telah meninggal pada tahun 1964 dengan penganut yang menyebar di antaranya di Rembang dan di sejumlah negara asing.
"Hardjosapoero penerima wahyu yang kemudian menyebarkan ajaran itu, sekarang kanor pusatnya ada di Yogayakarta,” kata Sutrisno menjelaskan.
Direktur Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA), Tedi Kholiludin menilai Penganut Kepercayaan Sapta Darma lebih mapan dibanding pengahayat lain. “Sapta Darma ada dari pusat hingga cabang, lembaga ini sudah melewati persoalan krisis ke generasi tidak seperti penghayat lain,” kata Tedi Kholiludin.
Ia menyarankan agar pemerintah melindungi dengan mengacu surat keputusan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan agar kasus pengrusakan terhadap rumah ibadah seperti yang dialami Penganut Kepercayaan Sapta Darma tak terulang. “SKB itu juga mengatur bagaimana membangun tempat ibadah bagi penghayat kepercayaan,” kata Tedi menjelaskan.
Menurut Tedi meski SKB masih multi tafsir, namun aturan itu bisa menjadi acuan pemerintah untuk menjelaskan bahwa selama ini masih ada intoleransi dan deskriminasi terhadap penghayat kepercyaan. “Dan itu virus yang bisa menyebar ke masyarakat kita yang sebenarnya sangat menghargai perbedaan,” katanya.
EDI FAISOL