TEMPO.CO, Jakarta - Sulistina ingat betul mata lelah Bung Tomo. Sorot mata yang semula tegas dan kerap sangar saat berpidato jadi memerah nan sayu, lengkap dengan kantong mata yang gelap. Bung Tomo, Sulistina bercerita, terserang dehidrasi akut. Tak jarang pria pemilik nama asli Sutomo itu merasa kepalanya berputar-putar. Tapi Bung Tomo berkukuh untuk tetap mengurus jemaah haji Indonesia yang sedang menunaikan Rukun Islam ke-5 di Baitullah, rumah Allah.
Penyelenggaraan haji pada 1981 belum seperti sekarang. Selain pemondokan yang sumpek dan tidak membuat nyaman, belum ada pemimpin kelompok terbang haji. ”Jemaah saat itu seperti itik kehilangan induknya,” tutur Sulistina, istri Bung Tomo, kepada Tempo pada medio Oktober lalu di rumahnya di Jakarta Timur.
Suaminya berinisiatif mengemban tugas dadakan sebagai pemimpin kelompok. Bung Tomo, kata perempuan 90 tahun ini, tak tega melihat jemaah haji Indonesia kebingungan.
Karena itu, Si Bung selalu keluar-masuk pemondokan untuk mengurus banyak hal. Misalnya menjadi penghubung antara jemaah dan amirul hajj alias pemimpin rombongan jemaah haji Indonesia, yang saat itu diemban Burhani, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Departemen Agama. Belum lagi Bung Tomo harus naik-turun tangga untuk bisa masuk ke pemondokan.
”Di tengah kesibukan itulah kondisi suami saya menurun,” ujar Sulistina. Padahal, menurut dia, sebelum berangkat haji, suaminya tampak sehat-bugar.
Bung Tomo baru menyerah setelah roboh. Ia sempat diperiksa dan diberi obat oleh tim kesehatan. ”Tapi tidak diinfus,” kata Ratna Sulistami, anak bungsu Bung Tomo yang ikut naik haji.
Ketika tak sadarkan diri, Si Bung akhirnya dilarikan keluarganya ke Rumah Sakit Kerajaan Arab Saudi, Jeddah, pada 3 Oktober 1981, bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke-61. Menurut diagnosis dokter: Bung Tomo terkena komplikasi dehidrasi akut dan stroke.
Dua hari Bung Tomo tak sadarkan diri. Ia baru siuman pada hari ketiga. Itu pun sempat mengalami amnesia ringan. ”Baru ngeh waktu kami cerita tentang haji,” tutur Ratna. Pada hari keempat perawatan, sehari sebelum wukuf di Arafah, Bung Tomo dan keluarganya terpisah.
Esoknya jemaah haji berkumpul di Bukit Arafah, termasuk Bung Tomo, yang datang dengan ditandu. Seorang mantan aktivis dalam Peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari), Hariman Siregar, yang melihat kejadian itu, langsung menghampiri Bung Tomo. Keduanya kenalan dekat. Perkenalan mereka bermula pada 1966, ketika Bung berpidato di Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Jakarta, tempat Hariman dan Bambang Sulistomo--anak kedua Bung Tomo--bersekolah. Kedekatan itu berlanjut sampai pada 1978, sewaktu Si Bung dibui di Wisma Nirbaya. Hariman--kini dokter berumur 65 tahun--kerap menjenguk Bung Tomo di dalam sel.
”Bapak kenapa?” ucap Hariman. Tapi Bung Tomo menjawab pertanyaan tersebut sekenanya. Hanya ada sedikit perbincangan di antara keduanya saat itu. Setelah itu, Hariman mendatangi Burhani untuk menanyakan ihwal rombongan orang sakit tersebut. Usut punya usut, Burhani-lah yang mengajak mereka ke Arafah.
”Wukuf itu inti haji, sekalipun harus sampai mati di sana. Impian semua orang muslim itu adalah meninggal di Tanah Suci,” kata Hariman, menirukan jawaban Burhani.
Meski kaget mendengar jawaban tersebut, Hariman tak banyak tanya lantaran waktu wukuf sudah dekat. Keduanya berpamitan. Begitupun kepada Bung Tomo. Itu terakhir kalinya Hariman bertemu dengan Si Bung.
Selesai wukuf, Hariman menemukan Bung Tomo sudah tak bernapas. Hari itu, Rabu, 7 Oktober 1981, empat hari setelah ulang tahun ke-61, Si Bung berpulang.
TIM TEMPO