TEMPO.CO , Jakarta:Menteri Kesehatan Nila Djuwita Farid Moeloek menyambangi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat sore, 6 November 2015. Nila yang didampingi Inspektur Jenderal Kementerian Kesehatan Purwadi dan Ketua Pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zainal Abidin itu datang ke gedung lembaga antirasuah secara diam-diam atau tidak lewat pintu utama sebagaimana biasanya.
Pelaksana tugas Wakil Ketua KPK Johan Budi Sapto Pribowo mengatakan Menteri Kesehatan bermaksud mengatur hal-hal yang berkaitan dengan gratifikasi untuk dokter, pribadi, maupun rumah sakit. Menurut dia, dokter yang bisa dijangkau KPK adalah yang berstatus Pegawai Negeri Sipil. "Tadi ada pemikiran apakah yang swasta juga bisa? Ada beberapa mekanisme atau sistem yang akan dibuat," kata Johan di kantornya, Jumat, 6 November 2015.
KPK, kata Johan, juga sedang membuat kajian tentang pemakaian obat di rumah sakit dan klinik terkait profesi dokter. "Tentu kajiannya berkaitan dengan praktik gratifikasi. Ini masih belum selesai," ujarnya.
Johan berharap nantinya tak ada lagi dokter-dokter yang bermain mata dengan perusahaan farmasi agar obatnya laku. KPK akan mencari cara untuk menghilangkan praktik pemberian duit atau sesuatu kepada dokter oleh perusahaan farmasi untuk menjual obatnya. "Di undang-undang jelas, PNS atau penyelenggara negara tidak boleh terima imbalan apa yang di luar penerimaan. Harus dilaporkan," kata dia.
Menteri Nila mengaku di kementeriannya sejak 2014 sudah membuat peraturan yang mengatur tentang gratifikasi. Namun, larangan penerimaan gratifikasi hanya tertera bagi pegawai Kementerian Kesehatan yang PNS. "Makanya saya ingin penjelasan KPK apa itu gratifikasi, sampai batas mana? Kami juga ingin bangun sistem kalau memang dirasakan gratifikasi, kami ingin bangun lagi," ujar Nila.
Ketua Pengurus Ikatan Dokter Indonesia Zainal Abidin mengatakan perlu ada dua atau tiga kali lagi pertemuan dengan KPK dan Kementerian Kesehatan untuk membuat sistem antigratifikasi atau pemberian lainnya. Rencananya, ketiga lembaga itu akan membangun Sistem Jaminan Sosial. "Nanti akan mencegah kontak langsung antara dokter dan farmasi," kata dia. Karena itu, semua perusahaan farmasi akan berhubungan dengan pemerintah.
Sebelumnya, Tim Investigasi Majalah Tempo membongkar dugaan gratifikasi atau suap dari perusahaan farmasi kepada dokter. Berdasarkan catatan keuangan perusahaan farmasi PT Interbat, sebanyak 2.125 dokter menerima duit dengan nilai antara Rp 5 juta sampai Rp 2,5 miliar. Mereka tersebar di lima provinsi, yakni Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Sebagian dokter penerima duit dari Interbat itu berstatus pegawai negeri dan bekerja di rumah sakit milik pemerintah. Motif pemberian duit itu diduga agar dokter meresepkan obat-obat perusahaan ini dalam jangka waktu tertentu.
LINDA TRIANITA