TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak sepuluh saksi fakta dijadwalkan bakal memberikan kesaksian di hadapan peradilan rakyat internasional. Kehadiran mereka akan menentukan sikap panel hakim dalam membuat rekomendasi putusan terkait dengan tragedi 1965. “Mereka sudah di Belanda,” ujar Koordinator Tim Pembentukan Peradilan Rakyat, Nursjahbani Katjasungkana, ketika dihubungi, Jumat, 6 November 1965.
Nursyahbani menjelaskan, para saksi merupakan korban yang mengalami musibah berdarah pada 1965. Mereka berasal dari wilayah yang menjadi pusat kekerasan massal, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Jakarta, dan Kalimantan. Beberapa di antara mereka pernah menjalani hukuman bui di Pulau Buru, Maluku Utara. “Kesaksian mereka akan menguatkan dakwaan kami,” katanya.
Peradilan rakyat tentang tragedi 1965 bakal digelar pada 10-13 November 2015 di Den Haag, Belanda. Mekanisme itu ditujukan untuk membuktikan kasus pembantaian massal pascameletusnya tragedi 30 September 1965. Putusan peradilan rakyat tak bersifat mengikat, melainkan sebatas putusan moral yang mendorong pemerintah Indonesia untuk membuat kebijakan terhadap peristiwa 1965.
Baca: Jokowi Enggan Nyatakan Maaf bagi Korban 1965
Terdapat sembilan dakwaan yang akan diuji panel hakim dalam sidang tersebut. Beberapa di antaranya terkait dengan pembunuhan massal, penghilangan paksa, penyiksaan, kekerasan seksual, dan keterlibatan negara lain dalam musibah tersebut. Untuk membuktikan dakwaan tersebut, tim telah mengumpulkan sejumlah dokumen penyelidikan maupun penelitian. Termasuk publikasi yang dimuat media massa.
Menurut rencana, kata Nursjahbani, keterangan saksi dan dokumen pendukung akan diuji sidang panel yang terdiri atas tujuh hakim. Adapun materi dakwaan akan disampaikan lima jaksa penuntut, yang sebagian besar berasal dari Indonesia. Panitera juga melayangkan surat panggilan kepada pemerintah Indonesia untuk menjelaskan posisi kasus tersebut. “Sebulan lalu, kami layangkan lewat kedutaan besar,” katanya.
Baca: Sikap Pemerintah terkait Pengadilan Rakyat
RIKY FERDIANTO