TEMPO.CO, SEMARANG - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah akan mengkaji kembali kewajiban menunaikan ibadah haji bagi umat Islam di Indonesia. Kajian terutama difokuskan untuk melihat perlu atau tidaknya pembatasan pelaksanaan yang hanya sekali dan tidak berulang kali.
"Haji itu wajibnya sekali saja," kata Ketua MUI Jawa Tengah Ahmad Daroji pada acara lokakarya “Reinterpretasi Kewajiban Melakukan Ibadah Haji bagi Umat Islam”, Rabu, 4 November 2015.
Ahmad mengatakan, saat ini, terdapat polemik di Indonesia soal jumlah peserta ibadah haji. Banyak umat Islam yang ingin haji berkali-kali membuat antrean keberangkatan haji semakin panjang. Saat ini, daftar tunggu calon haji di Jawa Tengah mencapai 19 tahun. Artinya, bila mendaftar tahun ini, diperkirakan baru akan berangkat pada 2034.
Sejumlah tahapan dalam pelaksanaan ibadah haji juga akan dikaji oleh Majelis Ulama, di antaranya soal kebiasaan orang Indonesia melakukan haji tamattu atau haji dengan membayar denda atau dam.
Menurut Ahmad, denda yang dibayarkan setiap calon haji bisa mencapai Rp 3 juta. Dari denda tersebut, akan dibelikan seekor kambing. Bila jemaah haji yang membayar denda mencapai tujuh orang, akan dibelikan unta.
Ahmad mengatakan Majelis Ulama akan mengkaji apakah daging hewan yang disembelih tersebut bisa dikirimkan untuk fakir miskin di Indonesia. Menurut dia, bahasan itu nantinya akan dikaji secara mendalam. “Hasilnya kami sampaikan ke Menteri Agama sebagai rekomendasi,” ucapnya.
Baca juga:
Heboh Suap Dokter: Tiga Hal yang Mengejutkan
Gara-gara Istri Abramovich, Mou Terpuruk
Saat menjadi pembicara pada lokakarya itu, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan akan menunggu hasil kajian MUI. Kajian MUI itu, kata dia, akan menjadi acuan bagi umat Islam dan calon haji. “Kewenangan pengelolaan haji tak sepenuhnya milik pemerintah,” kata dia.
Menurut Lukman, perlu kajian soal bagaimana sebaiknya ibadah haji dijalankan. Sebab, ibadah tersebut dilakukan di negara orang dengan budaya dan peraturan yang berbeda dibanding di Indonesia. “Kami berharap ada pemikiran dari ulama yang bisa dijadikan landasan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan haji,” ucap dia.
Selain menafsirkan kembali, upaya untuk membatasi jumlah pelaksanaan ibadah haji ini pernah dilakukan melalui gugatan di Mahkamah Konstitusi, Oktober lalu. Sebagai pemohon, Sumilatun, Fathul Hadi Utsman, dan J.N. Raisal menganggap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Haji bertentangan dengan UUD 1945.
Mereka menilai undang-undang tersebut tidak membatasi orang yang berkali-kali menunaikan ibadah haji di Tanah Suci. Padahal, saat ini, antrean jemaah haji bisa sampai puluhan tahun, sedangkan kuota haji yang diberikan untuk Indonesia terbatas.
Namun upaya gugatan itu ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam putusannya, MK menyatakan warga negara Indonesia tidak boleh dipersulit bila ingin melaksanakan ibadah haji berulang kali.
Menurut MK, semua rakyat Indonesia punya hak dan kedudukan yang sama di hadapan hukum. Jika pemerintah ingin membatasi pelaksanaan ibadah haji, hal itu justru membatasi hak beribadah warga negara. Dalam putusan yang dibacakan 20 Oktober lalu, MK menolak permohonan untuk seluruhnya.
EDI FAISOL
Baca juga:
Heboh Suap Dokter: Tiga Hal yang Mengejutkan
Gara-gara Istri Abramovich, Mou Terpuruk