TEMPO.CO, Jakarta - Angga Wahyu Pratama, 20 tahun, terdakwa persetubuhan ini meminta pengadilan mengabulkan permohonan tes DNA untuk membuktikan bahwa ia tak bersalah. Warga Desa Wunut, Kecamatan Mojoanyar, Kabupaten Mojokerto ini meminta majelis hakim Pengadilan Negeri Mojokerto untuk mengabulkan permohonan tes DNA.
“Alhamdulillah permohonan keponakan saya untuk tes DNA dipenuhi pengadilan,” kata paman Angga, Mujiono, usai sidang yang digelar tertutup, Kamis, 5 Nopember 2015.
Mujiono mengatakan Angga maupun pihak keluarga berani untuk tes DNA karena yakin Anggan bukan pelaku persetubuhan yang selama ini disangkakan saksi pelapor, polisi, dan jaksa.
Menurut ayah Angga, Achmad Muhajirin, kasus ini bermula saat anaknya dituduh menghamili bekas pacarnya berinisial UDS, 18 tahun, warga Desa Sumbertebu, Kecamatan Bangsal. Anehnya, saksi pelapor, UDS menuduh persetubuhan itu dilakukan di rumah UDS pada 20 Desember 2014. Namun kasus ini baru dilaporkan ke polisi selang tujuh bulan kemudian yakni Juli 2015. Hasil visum yang disertakan polisi sebagai bukti juga saat saksi pelapor sudah hamil 22-23 minggu atau sekitar 5,5 bulan.
Kejanggalan lainnya adalah polisi mengabaikan informasi dari keluarga bahwa pelaku yang sebenarnya sudah mengakui, yakni staf Tata Usaha di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tempat saksi pelapor sekolah berinisial MH. “Saat musyawarah antar keluarga, pelakunya sudah mengakui dan kami sudah menginformasikan ke penyidik polisi tapi tidak ditindaklanjuti,” ujarnya.
Bahkan MH disebut-sebut memberi uang Rp15 juta ke keluarga UDS dengan jaminan masalah ini diselesaikan secara kekeluargaan. MH juga tidak menikahi UDS dan UDS malah menikah dengan lelaki lain. Tidak diketahui apa motif UDS menuduh Angga yang menghamilinya. “Angga hanya pacaran empat bulan dan putus karena Angga kuliah di Jombang tapi dia (UDS) tidak mau ditinggal ke Jombang,” kata Muhajirin.
Majelis hakim yang dipimpin Sunarti akhirnya mengabulkan permohonan terdakwa Angga untuk dilakukan tes DNA. Kebijakan hakim itu dituangkan dalam surat penetapan yang dibuat langsung setelah sidang. Tes DNA ini untuk melihat apakah DNA terdakwa ada kecocokan dengan DNA anak yang sudah dilahirkan saksi pelapor.
Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kepolisian Resor Mojokerto Inspektur Polisi Dua Sri Mulyani enggan berkomentar atas kasus ini. “Silakan tanya ke pengadilan karena tempatnya ini di pengadilan,” ujarnya saat diwawancarai usai sidang. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Dedi Irawan juga enggan berkomentar. “Maaf saya ada urusan lain,” katanya sambil pergi menghindari wartawan.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Mojokerto Ajun Komisaris Budi Santoso pernah membantah jika disebut kasus ini disidik tidak sesuai fakta. “Penyidik sudah bekerja berdasarkan keterangan saksi dan alat bukti yang ada,” katanya pada wartawan, Juli 2015 lalu.
ISHOMUDDIN