TEMPO.CO, Jakarta - Kabut asap yang melanda sejumlah wilayah di Indonesia menjadi isu paling kuat yang disorot media lokal, nasional, dan internasional di antara isu besar lainnya. Demikian hasil penelitian yang disampaikan Indonesia Indicator (I2) melalui surat elektroniknya pada Senin, 2 November 2015. I2 memaparkan hal ini melalui Kabut Asap dalam Potret Intelijen Media.
Menurut Rustika Herlambang, lembaga ini mencatat pemberitaan kabut asap dalam kurun waktu 1 Januari hingga 27 Oktober 2015, yakni mencapai 40.607 berita. Data tersebut berasal dari pemberitaan 617 media online, baik nasional maupun internasional.
I2 merupakan sebuah perusahaan di bidang intelijen media, analisis data, dan kajian strategis menggunakan software artificial intelligence (AI). Dan Rustika, Direktur Komunikasi I2 ini menjelaskan, "Kabut asap bukan sebuah bencana alam, melainkan karena kesengajaan (human intention), adalah kesimpulan dari persepsi yang disampaikan melalui media."
Dia memaparkan, pemberitaan mengenai kabut asap akibat tindakan sengaja ini mendapat ruang ekspose sebanyak 6.920 berita atau 18 persen dari seluruh pemberitaan. Hal ini diperkuat dengan keterangan BMKG bahwa hot spot ini murni terjadi karena purposefully inflicted atau man made.
Selain itu, kata dia, gejala kabut asap terjadi dengan pola yang relatif tetap. Data media dalam empat tahun terakhir menunjukkan titik panas pada dasarnya sudah dapat dideteksi jauh-jauh hari atau enam bulan sebelum puncaknya pada September hingga Oktober.
Menurut Rustika, pola asap tidak hanya dari aspek waktu, tapi dari aspek wilayah. Ia mengungkapkan, wilayah didih tertinggi ada di Sumatera, terutama Riau, Jambi, dan Sumsel. Selain itu, wilayah Kalimatan dan Jawa Tengah.
"Apa yang telah relatif terpola, secara logis dan teoritis, sangat bisa dikendalikan dan diantisipasi. Sayangnya, soal mengantisipasi sering menjadi handicap," kata Rustika.
Kemudian dia juga menjelaskan kata kunci antisipasi yang cukup mendapat ruang berita, yakni sekitar 3.890 berita. Rustika menegaskan hal ini artinya sejak awal publik telah memberikan alert kepada pemerintah.
Rustika menerangkan pada 2015, pembakaran hutan dan bencana asap semakin menyebar ke Sulawesi, Maluku, hingga Papua. Ketiga wilayah terakhir ini, terutama Papua, menjadi area panas baru di masa datang, yang kemungkinan dampaknya tidak kalah serius.
"Titik api sudah terdeteksi sejak Januari. Seruan antisipasi dan pencegahan sudah diserukan sejak awal. Tapi mengapa kobaran api dan pengapnya asap makin menjadi?," ucap Rustika.
Perluasan hot spot yang luar biasa dan masif di berbagai wilayah, yang sebelumnya tidak pernah terpapar, kata Rustika, perlu diselidiki. "Apakah hal ini terjadi karena dampak fenomena El Nino atau kah sebuah kesengajaan," kata dia.
Indonesia Indicator mencatat volume berita bencana asap tahun ini melonjak sangat sekitar 400 persen dibandingkan tahun sebelumnya di bulan yang sama. Pada 2012, pemberitaan kabut asap hanya 669. Pada 2013 melonjak menjadi 1.256 berita dan 2014 menjadi 8.992 berita. Puncaknya, pada 2015 pemberitaan tentang kabut asap meroket hingga 39.648 berita.
"Indikasi ini bisa diposisikan sebagai sebuah anomali, bisa memperlihatkan banyak hal. Dari sisi obyektivitas berita, lonjakan terjadi karena perluasan terjadinya hot spot yang menjalar ke area baru seperti Sulawesi, Ambon, dan Papua. Selain itu, pemberitaan tentang korban lebih besar porsinya dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya," ujarnya.
HADRIANI P.