TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo kabarnya menyusun peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau perpu untuk mengatasi asap kebakaran hutan. Salah satu isinya adalah tidak lagi mengizinkan pembukaan lahan dan izin gambut di kawasan lindung gambut.
Aktivis dari lembaga non-pemerintahan, Sawit Watch, menerangkan bahwa perihal ini sudah menjadi fokus para pemerhati lingkungan. "Saat perpanjangan moratorium pada 2013, Sawit Watch sudah menggalang petisi. Untuk mempertahankan posisi moratorium ini, setidak-tidaknya tidak dicabut," kata Karlo Nainggolan dari Sawit Watch, Ahad, 1 November 2015.
Karlo mendesak pemerintah mencabut Peraturan Menteri Pertanian Tahun 2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budi Daya Kelapa Sawit. Tujuannya agar aturan tata kelola gambut di Indonesia terintegrasi. "Jika memutuskan tidak ada izin, sementara masih ada peluang, ini akan menjadi celah bagi ketidakteraturan hukum," ujar Karlo.
Selain itu, menurut Karlo, pemerintah juga harus merestorasi dan merehabilitasi lahan gambut, terutama pada area bekas terbakar, dengan melibatkan ahli yang independen. "Dalam kerangka ini, terlepas dari kepentingan perusahaan yang punya interest besar, ini bukan cerita baru, terutama dalam proses perumusan dan penyusunan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut."
Karlo menilai penegakan hukum tetap menjadi isu yang genting sampai sekarang. "Para pelaku pembakar, terutama masyarakat, sudah menjadi target sejak lama. Jika tidak salah, sepanjang tahun 2014, ada sekitar 40 warga yang ditangkap," tutur Karlo.
Baca Juga:
Namun, menurut dia, berbeda dengan perusahaan yang membakar hutan. "Berapa yang sudah dihukum karena ini? Baik dengan memberikan denda untuk merestorasi areanya, kurungan, maupun denda dan ganti kerugian terhadap masyarakat yang menjadi korban?"
Sawit Watch tak menampik fakta bahwa masyarakat juga membakar lahan. Sebab, hal itu benar terjadi. Namun proses penegakan hukumlah yang tidak berimbang.
REZKI ALVIONITASARI