TEMPO.CO, Semarang - Kepala Seksi Data dan Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Pemantauan Semarang Reni Kraningtyas menyatakan kabut mirip asap yang muncul di Kota Semarang pada Jumat, 23 Oktober petang, dipastikan bukan asap kebakaran hutan. Kabut yang menyelimuti sebagian Kota Semarang itu merupakan fenomena adveksi yang bisa terjadi satu atau dua hari ketika massa udara basah dan massa udara kering bertemu.
"Sekarang itu ada perambatan massa uap air kering atau massa udara panas secara horizontal dalam skala besar. Itu dari Samudera Hindia ke utara. Kemudian massa udara basah dari arah utara sekitar Kalimantan dan Laut Jawa menuju selatan dan bertemu di Pulau Jawa," katanya.
Menurut Reni, adveksi adalah pertemuan massa udara basah dan kering sehingga membentuk bidang batas di Pulau Jawa. Hal itu membentuk kondisi cuaca seperti kabut.
"Jadi, pertemuan massa udara basah dan kering mengakibatkan kondisi cuaca berkabut," ujarnya.
Saat gambar citra satelit Himawari 8 WV (Water Vapor) Enhanced ditunjukkan, tampak udara basah ditandai warna biru di Laut Jawa, Sumatera, dan Kalimantan, kemudian udara kering di Samudera Hindia dengan warna merah tua. Dua warna tersebut membentuk batas di Pulau Jawa.
Fenomena alam itu juga terjadi di Jakarta dan Bandung. Reni mengatakan fenomena adveksi itu akan berlangsung selama satu-dua hari.
BMKG memastikan kabut itu bukan asap dari Kalimantan atau Sumatera. Menurut dia, kebakaran hutan di dua pulau besar tersebut tidak sampai ke Pulau Jawa. Maksimal hanya menutupi sebagian perairan di Laut Jawa.
"Kesimpulannya, kabut ini bukan asap Gunung Lawu karena kebakarannya kecil," katanya.
Kabut tipis sempat menyelimuti wilayah Kota Semarang pada Jumat siang, 23 Oktober 2015, sekitar pukul 14.00 WIB. Munculnya kabut tipis yang terlihat semakin pekat itu dirasakan warga saat berada di Jalan Pahlawan, Ahmad Yani, Menteri Supeno, dan sekitarnya.
EDI FAISOL