TEMPO.CO, Kediri – Wacana penjatuhan hukuman kebiri kepada pelaku kejahatan seksual pada anak-anak tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Ketua Asosiasi Pondok Pesantren Jawa Timur Gus Reza Ahmad Zahid menegaskan Al Quran tak pernah mengatur soal hukuman kebiri. “Konsep Islam tak mengenal kebiri,” kata Gus Reza kepada Tempo di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, Kamis, 22 Oktober 2015.
Dia menjelaskan karena tak diatur dalam Al Quran, maka hukuman kebiri dikategorikan haram bila nekat dilakukan. Reza meminta pemerintah mengkaji ulang rencana penerapan hukum kebiri kepada pelaku kejahatan seksual tersebut agar tidak timbul pro dan kontra.
Baca Juga:
Namun Gus Reza tak menutup mata terhadap keinginan sebagian masyarakat yang setuju hukum kebiri diterapkan untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku kejahatan seksual. Apalagi akhir-akhir ini kekerasan seksual terhadap anak-anak makin meningkat.
Perbuatan biadab itu, kata dia, layak diganjar hukuman yang sama dengan cara menghilangkan kehidupan korban. “Hanya saja kriteria menghilangkan kehidupan ini kan tak terukur, apakah 5, 10, 15, atau 30 tahun penjara,” katanya.
Karena itu kunci pemidanaan pelaku kejahatan seksual terletak pada hakim. Hakimlah yang menjadi penentu hukuman setimpal bagi pelaku kejahatan seksual dengan menjatuhkan hukuman maksimal.
Aktivis Lembaga Perlindungan Anak Kota Kediri Ulul Hadi tak mempermasalahkan bila rencana penerapan hukuman kebiri dianulir. Namun dia mendesak majelis hakim menerapkan pidana maksimal kepada terdakwa. “Justru hakim yang selama ini membuat pelaku mengulangi perbuatannya karena vonisnya ringan,” kata Hadi.
Pemerhati anak, Seto Mulyadi, termasuk yang menolak penerapan hukuman kebiri. Dia memperkirakan sanksi itu tak menjamin pelaku akan jera. Bahkan bisa jadi dia malah menjadi agresif dengan melakukan tindakan kekerasan lainnya.
HARI TRI WASONO