TEMPO.CO, Amsterdam - Emisi gas rumah kaca dari kebakaran gambut di Kalimantan dan Sumatera diklaim telah melebihi emisi yang dihasilkan Amerika Serikat, menjadikan Indonesia salah satu pencemar karbon terbesar di dunia tahun ini, demikian menurut data yang diterbitkan peneliti di Universitas Amsterdam.
Menurut hitungan sang peneliti, Guido van der Werf - yang diposting di website Global Fire Emisssions Database (GFED) sebagaimana dilansir dari laman Eco Business.com - emisi karbon dari kebakaran Indonesia ini telah setara dengan satu miliar ton CO2 - lebih dari emisi tahunan Jerman.
Dikatakan, sejak awal September, kebakaran di Indonesia telah memancarkan karbon pada tingkat 15-20 juta ton per hari - sebagai pembanding, lebih dari 14 juta ton dipancarkan setiap hari oleh seluruh kegiatan ekonomi Amerika.
Yang mengejutkan, perkiraan itu dikatakan masih bersifat konservatif karena peneliti hanya memperhitungkan emisi karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrogen oksida (N2O) dari api. Mereka tidak memasukan emisi dari oksidasi gambut.
Mengingat areal lahan gambut dipengaruhi oleh api, van der Werf mengatakan temuan sebenarnya tidaklah mengejutkan. "Tidak peduli seberapa menakjubkan laju emisi ini, saya tidak berpikir siapa pun yang melihat kebakaran ini akan merasa heran," kata van der Werf seperti dilaporkan mongabay.com.
"Ada hubungan yang erat antara kekeringan dan kebakaran dimana kekeringan yang hebat menyebabkan sebuah kebakaran besar. Ada begitu banyak lahan tidur di bawahnya terdapat lahan gambut yang tidak dikelola dengan baik. Ditambah ketegangan sosial ekonomi dan kondisi kekeringan, Anda punya resep untuk membuat bencana," ujarnya.
Van der Werf menegaskan bahwa kebakaran lahan pada 2015 merupakan kebakaran terbesar sejak bencana El Nino 1997-1998. Ketika itu sekitar delapan juta hektar lahan berubah menjadi kumpulan asap. Soal apakah besarnya bencana kebakaran di Indonesia kali ini, akan melampaui peristiwa 1997-1998, menurutnya akan sangat tergantung pada berapa lama kondisi kekeringan berlangsung.
"1997-1998 adalah luar biasa. Tetapi 2015 juga luar biasa. Saya tidak berpikir itu akan melebihi 1997-1998 kecuali jika musim hujan tertunda."
Dikatakan temuan tersebut harusnya mejadi fokus perhatian akan pentingnya mengakhiri pendekatan bisnis konvensional dalam pengelolaan lahan di Indonesia jika dunia berharap untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Sejauh ini, Indonesia telah mengambil beberapa langkah untuk mengurangi emisi.
Sebagai salah satu penghasil emisi karbon terbesar di dunia, Indonesia dipercaya memiliki peluang luar biasa untuk mengurangi emisi. Restorasi lahan gambut dan hutan yang rusak bisa menyerap miliaran ton karbon, sekaligus mengurangi risiko kebakaran dan kejadian kabut asap, juga akan meningkatkan layanan ekosistem lainnya, seperti penyediaan air tawar dan membantu melawan kekeringan dan siklus banjir.
Selain bisa membantu memperbaiki hubungan dengan tetangganya - Singapura dan Malaysia - yang dikepung oleh kabut hampir setiap musim kemarau.
ECO BUSINESS.COM | MECHOS DE LAROCHA