TEMPO.CO, Bandung - Sejumlah kalangan memandang sosok hakim berperan penting dalam masalah penghinaan lembaga peradilan atau contempt of court di Indonesia. Selain hakim, pelaku penghinaan terhadap pengadilan tersebut yakni pengunjung sidang atau pihak yang berperkara di ruang pengadilan.
“Contempt of court bisa dicegah oleh hakim yang mandiri dan punya integritas," kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum Bandung Arip Yogiawan, dalam percakapan dengan Tempo, di tengah lokakarya tentang perbuatan merendahkan kehormatan hakim di Kota Bandung, Jumat, 16 Oktober 2015.
Dari pengalamannya sebagai pengacara, kata Arip, sampai sekarang masih terjadi transaksi di pengadilan yang melibatkan panitera hingga hakim. Arip pun mengamati perilaku hakim yang belum adil, mulai dari isi pemeriksaan perkara hingga putusan. Ketidakadilan itu berpotensi menimbulkan masalah penghinaan lembaga peradilan.
Tenaga ahli Komisi Yudisial, Muhammad Muslih, mengatakan riset Mahkamah Agung pada 2002 menunjukkan ada 611 hakim yang dihina di ruang pengadilan. "Kondisi hakim sekarang seperti dirasakan bersama, secara umum kepercayaan publik kepada hakim tidak semuanya baik,” ujar dia di Bandung.
Selain hakim, staf kesekretariatan dan panitera sidang disebutnya punya andil dalam masalah tersebut. Beberapa hakim di pengadilan merasa seperti tamu. “Ada yang berkuasa daripada hakim. Ada juga hakim yang main perkara karena alasan gaji tidak cukup,” ujarnya. Komisi Yudisial mulai mendorong hakim, terutama yang berusia muda, untuk bersikap independen dan menjaga integritas dalam menangani perkara hukum lewat pelatihan kode etik dan pedoman perilaku hakim.
Biro Rekrutmen, Advokasi, dan Peningkatan Kapasitas Hakim Komisi Yudisial Republik Indonesia, pada akhir pekan hingga awal pekan depan di Bandung, menggelar lokakarya bertema “Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim bagi Kalangan Pers, Masyarakat, dan Penegak Hukum”.
ANWAR SISWADI