TEMPO.CO, Malang - Harga pasir bangunan di Malang melonjak drastis sejak ditutupnya tambang pasir di Lumajang. Harga pasir per truk yang semula Rp 900 ribu kini melonjak menjadi Rp 1,5 juta. Selain mahal, pasokan pasir juga tersendat.
"Harga pasir mahal sejak dua pekan terakhir," kata pengusaha sanitair Desa Talangsuko, Turen, Kabupaten Malang, Imam Ghozali, Rabu, 14 Oktober 2015.
Untuk usahanya, setiap hari dia membutuhkan dua-tiga truk pasir. Pasir menjadi bahan baku utama selain semen untuk produksi sanitair. Pasir asal Lumajang dikenal kuat dan kokoh untuk sanitair.
Lantaran harga pasir mahal, sebagian pengusaha sanitair memilih membeli pasir dari Wlingi, Blitar. Namun kualitas pasirnya kalah bagus dibanding dari Lumajang.
Talangsuko menjadi sentra industri rumahan sanitair. Hasil produksi sanitair dikirim ke sejumlah daerah di Jawa Timur. Setelah harga pasir melonjak, Imam memilih menghentikan produksi. Sebab, jika harga dinaikkan, dikhawatirkan pembeli akan menurun. Adapun para pembeli juga menahan tak membeli produk sanitair.
Dia berkeyakinan harga pasir akan kembali normal jika tambang pasir kembali dibuka. "Saya mengambil pasir di sungai Besuk, tak pernah di pasir pantai," ucapnya.
Tak hanya pengusaha sanitair, sejumlah warga yang membangun rumah juga kebingungan setelah harga pasir melonjak sampai dua kali lipat. Sebagian dari mereka menghentikan bangunan sambil menunggu harga pasir kembali stabil. "Pasir mahal, tak terjangkau," ujar Sofyan, yang tengah memugar garasi rumahnya.
Sejak terjadi penganiayaan aktivis antitambang 26 September 2015, semua tambang pasir di Lumajang ditutup. Termasuk tambang pasir di tepi sungai. Hal itu menyebabkan pasir langka, dan jika ada pun harganya selangit.
EKO WIDIANTO