TEMPO.CO, Jakarta - Terkait Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK) tentang pembatasan usia KPK selama 12 tahun, Indonesia Corruption Watch (ICW) menekankan tiga hal.
Pertama, DPR tidak perlu membahas atau mengajukan usulan untuk membahas dengan substansi yang seperti sekarang ini, yakni RUU KPK dibuat menjadi sangat pro-koruptor dan akan merugikan KPK di masa depan.
“Jangan disahkan. Jika disahkan akan berpotensi menyebabkan KPK mati suri,” kata Lola Ester, peneliti ICW, saat dihubungi Tempo pada Rabu, 7 Oktober 2015. Kedua, pemerintah harus tetap pada pendiriannya untuk tidak membahas bersama DPR tentang revisi Undang-Undang KPK.
Terkait adanya partai pengusung pemerintah yang turut mengusulkan, Lola menganggap siapa pun yang mengusulkan patut diduga tidak pro-pemberantasan korupsi. Presiden Jokowi seharusnya bisa menegur karena ada beberapa partai pendukungnya yang ikut serta.
“Sepatutnya ada persamaan persepsi karena Presiden Joko Widodo sempat mengatakan dia tidak mendukung upaya revisi UU KPK ketika isu itu muncul,” kata Lola
Ketiga, KPK bisa mengirimkan surat keberatan ke DPR. “Bila melihat substansi seperti itu saya merasa tidak pernah melibatkan KPK ketika pembahasan meskipun ini inisiatif DPR,” ucap Lola
Lola menuturkan jika ingin memperbaiki UU KPK saat ini, maka substansi pasal-pasalnya harus yang mendukung upaya pemberantasan korupsi, bukan sebaliknya. Dia menilai UU KPK sekarang tidak bisa dibilang sempurna, tetapi dibanding substansi revisi yang beredar di masyarakat, maka Undang-Undang KPK masih jauh lebih baik.
ICW juga menilai banyak yang salah kaprah terkait status KPK yang ad hoc. Menurut Lola, status ad hoc tidak bersifat sementara, tetapi dibentuk untuk tujuan tertentu. “Intinya selama korupsi masih ada, selama itu pula KPK masih dibutuhkan. Seratus tahun lagi mungkin relevan ada wacana pembubaran saat ini tidak mungkin,” katanya.
AHMAD FAIZ IBNU SANI