TEMPO.CO, Lumajang - Tim Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mulai melakukan investigasi kasus pembunuhan dan penganiayaan terhadap Salim Kancil dan Tosan, warga Desa Selok Awar-awar penolak tambang pasir di Pantai Watu Pecak, Kecamatan Pasirian. Dipimpin Nur Cholis, salah satu Komisioner Komnas HAM, tim menghimpun data dengan mendatangi rumah para korban serta lokasi tempat pembunuhan serta penganiayaan di desa setempat.
Nur Cholis mengatakan, sebelum turun ke Lumajang, tim Komnas HAM sudah mengumpulkan bahan sejak seminggu terakhir ini. "Kami melakukan investigasi dulu," kata Nur Cholis di Lumajang, Senin pagi, 5 Oktober 2015. Rekomendasi apa nanti yang akan dikeluarkan, kata Nur Cholis, akan melihat hasil investigasi dulu.
(Baca: Pembunuhan Salim Kancil, Polisi Lumajang Diduga Terima Suap)
Nur Cholis mengatakan investigasi akan dilakukan sehari penuh, Senin, 5 Oktober 2015. Dia mengatakan, Senin sore nanti, baru akan diketahui hasilnya dan apa rekomendasi yang akan dikeluarkan. Pantauan Tempo di lapangan, tim Komnas HAM tampak didampingi Abdullah Al Kudus, tokoh aktivis lingkungan di Lumajang.
Tempat pertama yang didatangi Komnas HAM adalah rumah Salim Kancil. Di rumah duka tersebut, Nur Cholis berdialog dengan Tijah, istri mendiang Salim Kancil. Juga ada kepala dusun serta sejumlah warga setempat yang menolak keberadaan tambang pasir. Dalam dialog tersebut, Nur Cholis menerima informasi seputar kerugian yang dialami masyarakat atas keberadaan tambang pasir.
Nur Cholis juga mendengar informasi soal pengancaman yang dilakukan Tim 12 (bentukan Kepala Desa Hariyono). Seperti diberitakan sebelumnya, Salim Kancil menjadi korban pembunuhan sekelompok warga pendukung tambang pasir, Sabtu pagi, 26 September 2015. Salim Kancil ditemukan tewas terbunuh dengan kondisi mengenaskan.
Selain Salim Kancil, Tosan juga menjadi korban penganiayaan kelompok ini. Polisi telah menetapkan 24 tersangka pembunuhan dan penganiayaan terhadap Salim Kancil dan Tosan. Kepala Desa Selok Awar-awar menjadi tersangka dan aktor intelektual dalam kasus ini.
DAVID PRIYASIDHARTA