TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Suryanto mengatakan pencarian pesawat Aviastar yang hilang kontak di Sulawesi Selatan mengandalkan laporan komunikasi dan data situasi penerbangan.
Menurut Suryanto, cara seperti itu dilakukan karena bisa saja tidak bisa diandalkan, karena kemungkinan tidak berfungsi.
Suryanto menjelaskan, ELT merupakan sebuah alat pemancar sinyal gelombang radio ke satelit, untuk memudahkan pencarian pesawat jika mengalami masalah atau bahkan kecelakaan.
Namun, alat itu bisa tak berfungsi jika mengalami kerusakan parah. Misalnya, hancur akibat benturan keras, seperti yang terjadi pada pesawat Trigana Air dan Sukhoi beberapa waktu lalu. Karena itu, pencarian dilakukan dengan cara melacak menggunakan data yang ada.
"Keterangan dari tower, kapan komunikasi, cuaca, dan angin menjadi petunjuk kami," kata Suryanto di kantor PT Aviastar Mandiri, Kalimalang, Jakarta Timur, Jumat malam, 2 Oktober 2015.
Semua data itu, kata Suryanto, bisa dipakai untuk memperkirakan lokasi pesawat tersebut. Karena itu, pihaknya akan berkoordinasi dengan tim Basarnas dan otoritas lainnya yang ikut mencari pesawat.
General Manager Business Development and Commercial PT Aviastar Mandiri Petrus Budi, mengatakan perusahaannya akan menerjunkan dua pesawat untuk membantu proses pencarian melalui jalur udara. Pihaknya akan berkoordinasi dengan tim Basarnas, kepolisian, dan unsur lainnya.
Pesawat jenis twin otter DHC-6 diketahui hilang kontak sekitar sebelas menit setelah take-off dari Bandara Andi Djemma, Masamba, Kabupaten Luwu Utara, Jumat, 2 Oktober 2015, pukul 14.25 Wita. Pesawat itu dijadwalkan tiba di Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, pukul 15.39 Wita.
Sebelumnya dinyatakan hilang, pilot pesawat sempat dua kali menghubungi menara kontrol alias ATC di Makassar.
ADI WARSONO