TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu F.X. Arif Poyuono menduga suap gratifikasi yang diberikan Direktur Pelindo II RJ Lino pada Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno berkaitan dengan konsesi Hutchison Port Holding (HPH). Lino dianggap memberikan upeti untuk melancarkan urusan konsesi ini.
“Dikasihnya Maret kemarin, kan? Mungkin biar lancar upaya konsesi ini,” ujarnya di Jakarta, Rabu, 30 September 2015. Hingga saat ini, Federasi masih mencoba untuk membatalkan konsesi yang dinilai merugikan negara itu.
Menurut dia, masalah konsesi bermula ketika Pelindo II mengumumkan perpanjangan kontrak dengan HPH melalui iklan di media massa pada Agustus 2014. Kontrak yang seharusnya berakhir pada 2019 ini, tiba-tiba diperpanjang hingga 2039. Idealnya, menurut Arif, perpanjangan kontrak harus melalui tahap tender terlebih dahulu. Selama ini pun, tak pernah ada kabar yang beredar terkait dengan pembukaan tender bagi pengelola Jakarta International Container Terminal (JICT).
Soal ini sempat dipertanyakan Pelindo II kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada 5 September 2014, KPK mengirimkan surat kepada Pelindo II yang isinya bahwa perpanjangan kontrak pengelolaan itu tak bermasalah. Meski KPK menjawab tak ada masalah, Arif justru mengendus adanya persengkokolan antara Pelindo II dan HPH. Sebab, belum waktunya tender dibuka, tapi tiba-tiba ada perpanjangan kontrak.
Kecurigaan semakin menguat, setelah muncul surat-surat dari beberapa operator pelabuhan dunia seperti Dubai Port, Port Singapore Authority (PSA), dan China Merchant. Semuanya menyatakan tak mampu menyaingi penawaran yang diberikan HPH guna pengoperasian JICT. Surat ini ditengarai aneh, sebab PSA sendiri sudah mengelola Jakarta New Port, sehingga memang tak memiliki akses untuk mengelola JICT.
“Patut diduga surat-surat itu hanya buat-buatan saja,” kata Arif. Ia kemudian meminta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk memeriksa keberadaan surat-surat ini. Bila terbukti nihil, maka Pelindo II dan HPH dapat dikatakan melanggar UU Anti-Monopoli dan Tender.
Sementara gratifikasi sendiri dilaporkan secara terpisah oleh politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Masinton Pasaribu ke KPK. Ia membawa nota dinas tertanggal 16 Maret 2015 yang menunjukkan dugaan pemberian perabot rumah untuk Rini. Kemudian, ia melaporkan dugaan gratifikasi berupa pengadaan barang rumah dinas Rini Soemarno oleh RJ Lino. Surat tersebut tertanggal 16 Maret 2015 dan dicairkan pada 17 Maret 2015.
URSULA FLORENE