TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat, Setara Institute, Hendardi menilai pendekatan pemerintah dalam menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia tidak tepat. Soal ini disampaikan oleh Hendardi dalam konferensi pers tentang Prakarsa Negara Mengungkap Kebenaran Pelanggaran HAM Berat, di kantor Setara Institute, di Jakarta, Senin 28 September 2015.
Berdasarkan pendataan Setara, hingga kini setidaknya ada 22 kasus pelanggaran HAM berat. Antara lain, tragedi pembantaian massal tahun 1965, kasus Semanggi I dan II tahun 1998, Kasus Trisakti 1998, dan pembunuhan wartawan Harian Bernas Fuad M. Syafrudin tahun 1996.
Dalam sejumlah kasus pelanggaran HAM itu, kata Hendardi, pemerintah cenderung hanya mengedepankan upaya penyelesaian melalui mekanisme rekonsiliasi. "Korban HAM tak hanya butuh permintaan maaf. Yang juga mereka inginkan adalah kebenaran," kata dia.
Setara mengapresiasi niat pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang belum tuntas, seperti pernah diungkapkan sebelumnya oleh Presiden Jokowi. Namun Setara menyayangkan langkah-langkah yang ditempuh pemerintah.
Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos menambahkan, pemerintah sudah membentuk tim untuk mengusut tuntas masalah pelanggaran HAM di masa lalu. Sayangnya, tim tersebut terdiri dari anggota Polri, TNI, Badan Intelijen Negara (BIN), dan pihak lain yang masih tersangkut dengan kasus pelanggaran HAM.
Menurut Coki, sapaan arkab Bonar Tigor Naipospos, tim yang dibuat haruslah berasal dari pihak yang independen. Selain independen, kata dia, anggota tim juga memiliki "Integritas tinggi dan tahu seluk beluk kasusnya."
Berdasarkan hasil pendataan Setara, hingga saat ini masih terdapat 5 kasus pelanggaran HAM yang belum tersentuh hukum, 9 kasus macet di Kejaksaan Agung, dan baru 8 kasus yang dibawa ke pengadilan. Dalam 14 kasus yang macet dan belum tersentuh hukum, Kejaksaan Agung beralasan, saksi dan bukti dalam kasus itu belum mencukupi.
Setara menampik alasan Kejaksaan Agung ini. "Alasan saksi dan bukti tidak mencukupi, saya kira itu kebohongan besar. Beberapa mungkin benar, tapi tetap perlu dilakukan penyelidikan terhadap kebenarannya," ujar Hendardi.
MAWARDAH NUR HANIFIYANI