TEMPO.CO, Jakarta - Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) mengajukan uji materi Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ke Mahkamah Konstitusi. Berkas permohonan diserahkan ke panitera mahkamah siang tadi.
"Penetapan tersangka tanpa batasan waktu dijadikan alat untuk menyandera demi kepentingan kekuasaan," kata Ketua Bidang Hukum FKHK, Syaugi Pratama, Selasa, 15 September 2015.
Ia mengatakan, KUHAP tak memberikan batas waktu yang tegas berapa lama seseorang layak menyandang status tersangka, bahkan meski proses kasusnya belum juga jelas. Pasal 50, hanya menggunakan frasa "segera" yang dapat diterjemahkan secara relatif oleh penyidik dan penuntut.
FKHK menilai, masyarakat kerap memberikan sanksi sosial yang berat bagi orang yang menyandang status tersangka, meski belum tentu terbukti. Salah satu keadilan bagi tersangka adalah proses hukum yang cepat sehingga dapat diputuskan dalam pengadilan soal terbukti atau tidak dalam kasus tersebut.
"Status tersangka bisa melekat bertahun-tahun," kata Syaugi. "Sering pula status tersangka dijadikan alat untuk menyandera demi kepentingan tertentu."
Menurut FKHK, Pasal 50 ayat (1) dan (2) sangat bertentangan dengan konstitusi yang menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia. Dalam permohonan gugatannya, FKHK menguji pasal tersebut dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 28 C ayat (2), dan Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Secara konkret dalam petitum, FKHK meminta Mahkamah menetapkan batas waktu 60 hari bagi penyidik untuk melengkapi berkas untuk dilimpahkan ke penuntut umum sejak penetapan status tersangka. Sedangkan untuk tersangka yang tak ditahan, FKHK meminta batas waktu pelimpahan berkas perkaranya hingga 90 hari.
FRANSISCO ROSARIANS