TEMPO.CO, Yogyakarta - Lima pedagang kaki lima melakukan aksi tapa pepe atau berjemur di depan Keraton Yogyakarta, Ahad, 13 September 2015. Mereka menuntut Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X bertindak adil atas sengketa tanah yang mereka tempati untuk berdagang.
Lima warga yang merasa dianaktirikan itu adalah Budiono, Agung Budi Santoso, Sutinah, Sugiyadi, dan Suwarni. Kelimanya merupakan pedagang di Jalan Brigjen Katamso, Kota Yogyakarta. “Kami ingin tetap bertahan di sana," kata Agung.
Dalam tradisi Kasultanan Yogyakarta, tapa pepe dikenal sebagai bentuk penyampaian aspirasi rakyat kecil kepada raja. Petapa berdiri di antara dua pohon beringin di Alun-ulun Utara. Mereka berjemur di bawah terik matahari dan menghadap ke arah Keraton Yogyakarta. Harapannya, aksi itu mendapat perhatian dari raja.
Berita Menarik
Icha Dijemput Ajal Beberapa Jam Selepas Diwisuda
Polisi Pemerkosa dan Pembunuh Itu Akhirnya Menunggu Maut
Sengketa tanah ini bermula pada gugatan Rp 1,12 miliar yang dilayangkan Eka Aryawan kepada kelimanya. Dengan mengantongi surat kekancingan (hak pinjam-pakai) tanah milik Sultan nomor 203/HT/KPK/2011, Eka mengklaim sebagai pemilik izin sah atas tanah seluas 73 meter persegi, yang di antaranya ditempati pedagang.
Adapun Agung berharap Sultan mencabut surat kekancingan yang diberikan kepada Eka. "Surat tersebut sudah dipakai sewenang-wenang,” ucapnya. Alasannya, ujar Agung, pedagang menempati tanah itu sejak puluhan tahun lalu. "Kami di sana sejak 1960."
Pada pedagang menggelar aksinya dengan didampingi kuasa hukum mereka yang diutus Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta. Selama 30 menit melakukan aksi tersebut, tidak satu pun perwakilan Keraton datang untuk menerima aspirasi para pedagang.
Kuasa Hukum Eka, Oncan Poerba, menuturkan kliennya mendapat hak dari Pemerintah Kota Yogyakarta untuk mendirikan bangunan di lahan itu. Sedangkan pedagang berada di atas lahan yang bukan untuk berdagang. Oncan menantang pedagang agar memperlihatkan bukti penguasaan lahan jika memang menempati tanah itu sejak 1960. "Justru mereka yang melanggar keindahan kota," katanya.
Tentang asal tanah milik Eka, Oncan berujar, kliennya adalah keturunan Tionghoa yang membelinya dari seseorang beberapa tahun lalu. "Beli dari mana, saya tak tahu," ucapnya. Yang jelas, ujar dia, pembelian itu sudah lama terjadi. Meski telah membeli, kliennya tak bisa mengantongi surat hak milik atas tanahnya.
Baca Juga
Toyota Ajukan Hak Paten Untuk Sayap Mobil Terbang
Anak Korban Crane Jatuh Kecewa terhadap Pemerintah
Isu kepemilikan tanah bagi warga keturunan Tionghoa di Yogyakarta mengemuka sejak beberapa waktu lalu. Media massa melaporkan, banyak keturunan Tionghoa yang dilarang memiliki tanah di Yogyakarta. Larangan itu berdasarkan Surat Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta nomor K.898/I/A/1979 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah kepada WNI Nonpribumi.
Raja Keraton Yogyakarta sekaligus Gubernur DIY, Sultan Hamengku Buwono X, mengatakan sengketa tanah yang disebabkan oleh surat kekancingan itu bukan lagi urusan Keraton. Ia mengaku sudah memberi hak kepada seseorang. Jika hak itu diambil orang lain, sengketa itu adalah masalah penerima hak dan orang tersebut.
"Bukan masalah saya," ucap Sultan seusai pemasangan patok kawasan Gumuk Pasir di Pantai Parangtritis, Bantul, DIY, Jumat, 11 September 2015.
ANANG ZAKARIA
Baca juga:
MU 3-1 Liverpool: Kenapa Kekalahan Ini Selalu Menyakitkan bagi Liverpool?
Ruhut Bicara Soal Kedekatan Rizal Ramli dengan Artis Cantik