TEMPO.CO, Pontianak - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Sumber Daya Alam memperkirakan bahwa Indonesia berpotensi mengalami kerugian Rp30 triliun akibar deforestasi di Kalimantan selama lima tahun terakhir.
"Koalisi mencatat potensi kerugian negara berkisar antara Rp 2,1 hingga 6 triliun per tahun. Sehingga total sepanjang 5 tahun sejak 2009 sampai 2013 mencapai 30 triliun rupiah akibat deforestasi," kata Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Barat, Anton P. Widjaya, Selasa 8 September 2015.
Baca Juga:
Angka kerugian tertinggi penggundulan hutan, kata dia, terjadi di di Kalimantan Tengah seiring dengan tingginya tingkat kerusakan hutan di provinsi tersebut. Kerugian tersebut baru menghitung nilai ekonomi atas provisi sumber daya hutan dan dana reboisasi yang tidak terpungut.
"Angka kerugian yang nyata dirasakan masyarakat akan jauh lebih besar. Belum lagi biaya yang diperlukan bagi negara untuk memulihkan kondisi hutan seperti sedia kala," dia memaparkan..
Koalisi Masyarakat Sipil mengeluarkan pernyataan tersebut dalam rapat konsolidasi di Pontianak, koordinasi monitoring dan evaluasi (kormonev) dalam perumusan rencana aksi GN-SDA dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tanggal 8-9 September 2015.
Luas kawasan hutan Kalimantan yang dikuasai untuk kepentingan perusahaan pun masih tinggi, dengan total luas 47.731.226 hektar atau 88.9 persen dari total luas Kalimantan, yakni 53.544.820 hektar.
Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan Dwitho Frestiandi mengatakan bahwa implementasi rencana aksi dari pemerintah provinsi tidak terlaksana dengan baik selama setahun terakhir. “Masih banyak yang tumpang tindih,” kata Dwitho.
Dia menilai pemerintah daerah cenderung kompromi dan setengah hati. Saat ini, kata dia, lima provinsi di Pulau Borneo sangat rentan terhadap potensi korupsi akibat tumpang tindih penerbitan perizinan di sektor perkebunan, kehutanan dan pertambangan.
Hal itu tidak terlepas dari lemahnya pengawasan dan ketidakpastian hukum dari otoritas daerah. Kalimantan Tengah, misalnya. Dari total hutan seluas 15.5 juta hektar, lahan seluas 4 juta hektar masuk perizinan pertambangan, 4.1 juta hektar untuk perkebunan dan 12 juta hektar untuk izin kehutanan.
Nordin, dari Save our Borneo (Kalimantan Tengah) mengatakan belum ada kemajuan yang serius terkait implementasi GN-SDA, terutama dalam penegakan hukum maupun biaya reklamasi dan pasca-tambang.
Dia menilai KPK belum sepenuhnya menangani pelanggaran yang terjadi di tingkat provinsi. “KPK masih sebatas mengaum, belum menerkam,” kata Nordin. “Konteks penegakan hukum harus tegas. Semua izin yang tidak memiliki kelengkapan syarat harus di-reset. Baru dibuka keran lagi dengan perhitungan yang sangat ketat dan selektif,” katanya. Jumlah konflik pun cenderung meningkat. Untuk tahun 2015 saja, kata dia, distribusi konflik merata di setiap Provinsi Kalimantan.
Besok, Koalisi Masyarakat Sipil akan mempresentasikan hasil kormonev tentang kelautan dan hutan serta perkebunan dengan KPK.“Kami berharap ke depan pemerintah Kalbar dapat mengembangkan tools baru. Kami berharap dengan kormonev, kami akan menemukan titik terang terkait penataan dan perbaikan isu pengelolaan sumber daya alam ini,” kata Direktur Eksekutif Walhi Kalimanan Timur Fathur Rozikin.
ASEANTY PAHLEVI