TEMPO.CO, Yogyakarta - Alkisah, komandan tentara di Yogyakarta meminta Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengadakan pertemuan dengan sekitar 30 "orang pintar" atau kiai. Tempatnya di sebelah timur kota (kini di bilangan Hotel Ambarrukmo). Salah seorang kiai mengatakan bahwa Sultan harus berkorban dua kali demi keselamatan Indonesia.
Pengorbanan pertama, menurut kiai itu, berupa tumbal atau korban dua ekor ayam jago kembar bertaji kuning yang harus ditempatkan di sebelah barat keraton. Sultan langsung menjawab ucapan "orang pintar" itu. "Oh, itu sudah diberikan," kata Sultan, seperti yang dikutip dari buku Takhta Untuk Rakyat, yang disunting oleh Atmakusumah Astraatmadja.
Yang diketahui Sultan, tumbal ayam jago berjalu kuning adalah pertanda yang dikorbankan itu tak lain dan tak bukan dari keluarga. Saat itu kebetulan ada dua saudara Sultan yang meninggal dengan pemakamannya dalam waktu yang hampir bersamaan. Saudaranya yang satu tinggal di selatan keraton dan seorang lagi di sebelah barat keraton.
Korban kedua, yakni seekor jago hitam mulus dan seekor jago putih mulus dari kaki Gunung Wilis. Mendengar itu, Sultan balik bertanya: "Siapa yang memberi wisik kepada kiai? Apakah ada wujud yang dilihat?" Menurut kiai, wisik itu dari seorang berbadan tinggi berjubah hijau dan memakai ubel-ubel cinde, tenunan asli Jawa berwarna merah-putih.
Sultan yakin, ucapan lewat para kyai itu berasal dari Sultan Agung, leluhurnya. Dua ekor ayam kembar berjalu kuning diserahkan kepada keluarga Sultan yang baru saja meninggal untuk selamatan. Ayam jago putih mulus dari gunung Wilis disembelih dan bangkainya ditanam di suatu tempat di kompleks keraton. Seekor lagi dipelihara dekat pusaka keraton.
TIM TEMPO | AMRI MAHBUB