TEMPO.CO, Cianjur – Presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono, menyatakan perekonomian nasional saat ini tengah menghadapi persoalan. Hal tersebut diungkapkan SBY dalam sambutan pada acara Rapat Pleno Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat di Hotel Yasmin, Cipanas, Cianjur, Jawa Barat, Jumat, 28 Agustus 2015.
“Saudara-saudara, dengan jujur dan obyektif kita harus mengakui bahwa ekonomi kita telah mengalami persoalan. Ekonomi kita, baik makro maupun mikro, baik keuangan maupun sektor rill, menghadapi tekanan yang cukup berat,” ujar Ketua Umum Partai Demokrat ini.
SBY juga menjelaskan, lebih khusus permasalahan yang dihadapi bangsa ini, salah satunya, adalah pertumbuhan ekonomi melambat atau menurun. “Mengapa ekonomi kita melambat atau menurun? Ada sejumlah faktor yang menyebabkan. Pertama, konsumsi rumah tangga, pembelian masyarakat atas barang dan jasa itu menurun karena daya beli masyarakat juga menurun,” ucapnya.
Selain itu, dia menuturkan, pertumbuhan ekonomi menurun karena investasi di banyak sektor terhenti. Ekspor juga nilainya menurun. Menurut dia, mungkin semua komoditas volumenya tetap ada yang baik tapi ada yang turun. “Sejumlah komoditas harganya jatuh. Misal minyak bumi, kelapa sawit, batu bara, dan karet,” katanya.
Pembelanjaan pemerintah, karena satu dan lainnya, termasuk realisasi APBN, juga tidak optimal. Itulah faktor penyebab ekonomi menurun sekarang di bawah 5 persen, baik pada kuartal I maupun II 2015.
Pertumbuhan yang menurun, harga barang dan jasa membubung, harga bahan pokok yang diperlukan oleh rakyat dalam kegiatan sehari-hari juga mengalami peningkatan. Sebagiannya tajam, tentu hal ini menimbulkan kesulitan bagi kehidupan sebagian besar rakyat Indonesia. “Mulai terjadi gelombang PHK. Tentu menambah angka pengangguran dan meningkatkan kemiskinan baru,” katanya.
Akibatnya, ucap SBY, pajak yang dibayarkan kepada negara juga menurun sehingga penerimaan negara dari sektor pajak pun menurun. Adapun faktor lain, yakni nilai tukar rupiah, tergerus cukup tajam sehingga memukul pemerintah karena ada kewajiban yang berkaitan dengan transaksi keuangan komitmen dolar.
”Begitu nilai tukar rupiah anjlok, beban meningkat. Pelaku usaha terpukul, mereka melakukan pinjaman dalam bentuk dolar namun menjualnya dalam rupiah. Tentu merugikan mereka dan sebagian masyarakat,” ujarnya.
DEDEN ABDUL AZIZ