TEMPO.CO, Sidoarjo - Ansori, 77 tahun, pengemis calon haji dari Dusun Lojok RT 02/RW 05, Kelurahan Kepel, Kecamatan Bugulkidul, Kota Pasuruan, Jawa Timur, selama dua hari ini ramai diberitakan media. Ansori kepada tetangganya mengaku mengemis karena pesan kiai.
"Dulu kepada saya, beliau bercerita kalau dia mendapat pesan dari seoarang kiai di Pasuruan agar bekerja menjadi pengemis saja," kata Hanafi, tetangga dekat sekaligus orang kepercayaan Ansori, kepada Tempo, Rabu, 26 Agustus 2015.
Awalnya, lanjut Hanafi, dirinya tidak tahu kalau tetangganya itu mendaftar untk calon haji. Namun setelah mengetahui rencana Ansori, karena dirinya kasihan, ia dengan suka rela membantu pengurusan keuangan Ansori untuk ongkas haji.
"Sebelumnya Pak Ansori menitipkan uang untuk biaya haji ke orang kenalannya yang dua tahun lalu baru meninggal. Saya denger cerita dari beliau kalau uangnya tidak dikembalikan Rp 4 juta. Sejak itu saya yang mengecek keluar masuk uang itu,” kata Hanafi.
Hanafi menduga ada makna dan pesan yang tersembunyi di balik amanat sang kiai kepada Ansori. "Kenapa sang kiai itu nyuruh mengemis bukan menyuruh hal lainnya. Ternyata dengan jadi pengemis Pak Ansori bisa naik haji," kata dia.
Ansori, 77 tahun, ternyata sejak kecil ia sudah hidup menggelandang. Ia baru mulai mengemis sekitar 1980-an, atau sekitar 30 tahun lalu. "Sejak kecil saya sudah hidup sebatang kara. Bapak saya hilang entah ke mana pada waktu pendudukan Jepang, sementara ibu meninggal," kata Ansori saat ditemui Tempo di rumahnya di Dusun Lojok, Rabu, 26 Agustus 2015.
Setelah kedua orang tuanya tiada, Ansori kecil hidup menggelandang. Ia sempat dua tahun hidup di sawah dengan makan buah seadanya. Sebelum memutuskan menggelandang, saat lapar ia terpaksa makan pecahan batu karena tidak ada orang yang memberi. "Biasanya saya makan pecahan batu bata di depan pintu rumah."
Jika tak kuasa memakan batu, dia berinisitiaf mengumpulkan rumput, kemudian rumput itu dia tawarkan kepada orang untuk dibeli. "Hasil dari menjual rumput kemudian saya buat makan," ujar Ansori, mengenang penderitannya ketika itu.
Saat menggelandang di sawah, Ansori kecil pernah mengalami sakit parah sehingga tidak bisa berjalan. Pernah ia mengakuu dirinya dikepung luwak dan pernah juga harus mengesot untuk mengambil air minum di sungai. "Badan saya saat itu tidak bisa bergerak. Kulit saya mengering," ucapnya.
Ketika beranjak remaja, Ansori menggelandang di jalanan, tidur di sembarang tempat, dan makan apa saja yang bisa dimakan. "Saya baru berhenti menggelandang setelah menikah dengan almarhum istri saya, Arliyah," tuturnya.
Kapan menikah? Ansori tak ingat. Namun dia menyebut saat menikah dulu di Kantor Urusan Aagam, dia membayar Rp 25 ribu. Setelah menikahi Arliyah, Ansori bekerja serabutan, termasuk menjadi buruh tani sebelum kemudian memutuskan mengemis.
Ansori mengaku baru memiliki niatan naik haji setelah ditanggal istrinya. "Saya punya niatan naik haji sekitar tujuh tahun sebelum saya mendaftar haji pada 2009," ujar dia. Saat mendaftar menjadi calon haji, Ansori baru membayar Rp 20,5 juta. Adapun total biaya ke Tanah Suci itu mencapai Rp 42,5 juta.
Untuk bisa membayar uang sebanyak itu, ia perlu menabung Rp 5.000 per hari. Uang itu ia titipkan kepada Kayum, kenalannya. Dari hasil mengemis di sekitar Pasuruan, sehari Ansori rata-rata mengumpulkan Rp 20 ribu. "Rp 15 ribu untuk makan dan sisanya di tabung," ujarnya.
Ansori baru melunasi ongkor haji pada 2014. Ansori kini tergabung dalam kloter 44 yang akan berangkat pada 8 September 2015. Untuk mempersiapkan keberangkatannya, Ansori dibantu Siti Fatimah, tetangganya sedusun. Kini Ansori berhenti mengemis. "Sejak Lebaran saya sudah berhenti mengemis."
NUR HADI