TEMPO.CO, Yogyakarta - Liem Gien Nio, 81 tahun, bersama sejumlah rekannya di panti wreda Pelkris, Semarang, terlihat antusias memainkan peran sebagai rakyat saat Agresi Militer Belanda II.
Dia menggenggam sebuah bola kertas yang kemudian dilemparkan ke seorang temannya yang berpakaian ala militer Belanda. Aksi penghuni panti manula itu penuh tawa tapi tetap mencerminkan drama perlawanan melawan kolonial. “Ini mengenangkan masa lalu saat saya masih kecil,” ujar Liem.
Liem mengaku terkenang pada 70 tahun silam ketika detik-detik menjelang Sukarno membacakan teks proklamasi. “Saat itu saya berusia sekitar 10 tahun dan tinggal di Yogyakarta,” ucap Liem, mengenang.
Meski saat itu masih berusia anak-anak, Liem masih ingat benar antusiasme masyarakat Yogyakarta dalam melawan kehadiran militer Belanda. Ia tahu Indonesia telah merdeka dari sejumlah tetangga dan orang dewasa yang menyambut kemerdekaan dengan gegap-gempita.
Sesudah proklamasi dibacakan pada 17 Agustus 1945, ucap dia, terjadi perang di mana-mana. Setelah tentara Jepang tersingkir, Belanda datang dengan agresi militer. Liem juga menjadi salah satu pengungsi yang dibawa ke Semarang dengan kereta api. "Di Yogya, laki-laki banyak yang dibunuh, sedangkan perempuannya tidak. Saya ingat ada laki-laki yang selamat bersembunyi menggendong anaknya naik ke pohon kelapa," tuturnya.
Pada usianya yang semakin senja, Liem pun tetap semangat memperingati hari kemerdekaan setiap tanggal 17 Agustus. Bersama sejumlah rekan sesama manula, ia berharap Indonesia bisa terus damai, tidak lagi ada peperangan. “Perang itu membuat repot, bikin sengsara,” katanya.
Pimpinan unit panti wreda Pelkris, Semarang, Slamet Basuki, mengaku sengaja menggelar pentas drama untuk merayakan 70 tahun kemerdekaan Indonesia. “Aksi singkat itu bercerita tentang kedatangan Belanda dan perjuangan rakyat Indonesia,” ucap Slamet.
Menurut Slamet, aksi teatrikal ini akan membangkitkan semangat kemerdekaan. “Apalagi mereka dulu juga terlibat perjuangan," ujarnya. Dalam pementasan drama ini, Slamet dan pengurus panti memaksimalkan para pelaku yang sebagian sudah menggunakan kursi roda. Pentas teatrikal berdurasi sekitar 15 menit itu pun tak diiringi musik. “Mereka tetap semangat dengan ruh anti-penjajahan,” tuturnya.
EDI FAISOL