TEMPO.CO, Jakarta - Memperingati sepuluh tahun perdamaian Aceh, Konsorsium Aceh Baru, sejumlah universitas dan pemerintah Aceh yang tergabung dalam Aceh Peace Forum menggelar simposium Internasional Perdamaian Aceh. Simposium dimulai Rabu, 12 Agustus 2015 di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Mereka yang terlibat sebagai tokoh perdamaian Aceh diundang untuk berbagi pengalaman serta mengkaji proses perdamaian setelah satu dekade. “Juga merumuskan agenda pembangunan Aceh ke depan,” kata Juanda Djamal, Koordinator Pelaksana Aceh Peace Forum, kepada Tempo, Rabu, 12 Agustus 2015.
Menurut dia, pengalaman para tokoh dalam membangun perdamaian di Aceh juga akan ditularkan sebagai pembelajaran ke Papua, Moro, dan Pattani. Simposium akan berlangsung sampai 13 Agustus.
Para tokoh yang hadir dan memberikan pengalamannya dalam simposium, di antaranya Pieter Feith, mantan Ketua Aceh Monitoring Mission (AMM) yang dulu memantau proses perdamaian.
Tgk Malik Mahmud AlHaytar, mantan pemimpin delegasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), saat perundingan yang berlangsung di Helsinki bersama Hamid Awaluddin. Hamid adalah mantan pimpinan delegasi pemerintah Republik Indonesia dalam perundingan yang mencapai kesepakatan pada 15 Agustus 2005.
Beberapa pembicara lainnya adalah para tokoh dari Aceh dan nasional, seperti Otto Syamsuddin Ishak dari Komnas HAM dan Ahmad Taufan Damanik dari Komisioner HAM Anak. Juga ada sejumlah tokoh perdamaian Aceh lainnya, seperti Shadia Marhaban, Nur Djuli, mantan Gubernur Aceh Azwar Abubakar, dan para akademikus. Seorang aktivis kemanusiaan dari Jepang, Natsuko Saeki, juga hadir untuk berbagi pengalaman.
Simposium juga diikuti oleh banyak peserta dari beberapa wilayah konflik, seperti Pattani, Moro, dan Papua. “Mereka ingin belajar tentang pengalaman para tokoh dalam menyelesaikan konflik Aceh,” ujar Juanda.
ADI WARSIDI