TEMPO.CO , Jakarta - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly membantah piahknya mengobral remisi istimewa dasawarsa kepada terpidana korupsi dan narkoba. Menurut dia, pemberian remisi itu sesuai dengan undang-undang atas dasar pembinaan bukan penghukuman. "Kalau Kemenkumham tak beri remisi berarti tak bina manusia. Kami membina bukan membinasakan. Membinasakan itu saat Hamurabi," kata Yasonna di kantornya, Senin, 10 Agustus 2015.
Direktorat Jenderal Permasayarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia membagikan potongan masa hukuman kepada 118 ribu narapidana. Remisi dasawarsa ini diberikan secara cuma-cuma dan istimewa bahkan untuk terpidana korupsi, narkoba, dan yang baru menjalani masa tahanan tiga bulan.
Pemberian remisi dasawarsa dilakukan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 120 Tahun 1955 tentang Pengurangan Pidana pada Hari Dasawarsa Proklamasi Kemerdekaan dan berlaku sejak tahun itu. Besaran remisi yaitu seperduabelas dari masa pidana, dengan maksimum pengurangan tiga bulan.
Seluruh terpidana berhak atas remisi ini kecuali terpidana hukuman mati, hukuman seumur hidup dan terpidana yang melarikan diri. Sementara pada remisi umum, terpidana harus menjalani minimal 6 bulan masa tahanan untuk mendapatkan remisi umum.
Yasonna mengatakan pihaknya tak berwenang menolak permohonan remisi para terpidana dari segala jenis kejahatan. Menurut dia, penghukuman dengan penolakan remisi tak sesuai dengan azas hak asasi manusia.
Ia berpendapat koruptor juga berhak atas remisi meski dianggap merugikan banyak pihak. "Koruptor dihukum berat di pengadilan. Tuntut dan hukum seberat-beratnya. Tugas kami membina," kata Yasonna.
Yasonna juga menolak usulan perubahan Keppres terkait remisi dasawarsa ini. "Itu bisa jadi diskriminasi. Sudahlah, kenapa nafsu menghukum sangat tinggi dan tak ada toleransi bagi yang bertobat?"
PUTRI ADITYOWATI