TEMPO.CO , Yogyakarta - Laki-laki paruh baya, Yudi Karyono, dengan semangat berjalan dengan egrang memasuki halaman Kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta di Kepatihan, Senin, 10 Agustus 2015. Dia ingin bertemu dengan Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X. Kepada Raja Jawa itu, pria 52 tahun ini menyampaikan jerih payahnya: memperkenalkan egrang kepada masyarakat.
Dalam mewujudkan misinya itu, Yudi berjalan di atas egrang dari Yogyakarta ke Jakarta dan kembali lagi ke Yogyakarta selama 51 hari. Yudi berangkat pada 10 Juni dan kembali ke Yogyakarta pada 4 Agustus 2015. “Saya menemui Pak Jokowi (Presiden Joko Widodo) untuk menyampaikan misi saya,” kata Yudi.
Menurut Yudi, saat itu Presiden Jokowi tidak memberikan jawaban atas keinginannya agar pemerintah mendukung memasyarakatkan egrang. "Hanya dicatat. Tapi saya sudah membuktikan kepada Pak Jokowi, kalau egrang yang saya pakai kuat dan saya mampu,” kata Yudi.
Egrang yang digunakannya berupa dua batang tongkat besi dengan tinggi sekitar dua meter dengan berat 7,5 kilogram. Jarak pijakan kaki ke tanah 50 sentimeter. Supaya membuat nyaman, pijakannya dipasangi sandal karet tebal.
Selama perjalanan, dia membawa tas ransel berisi perbekalan seberat 20 kilogram. Selain menuju ke Jakarta dengan menaiki egrang, Yudi memilih jalur pantai utara ketimbang selatan. “Jalur selatan sepi, sedangkan utara ramai. Jadi orang banyak yang tahu egrang,” kata Yudi yang tinggal di Panembahan, Kecamatan Keraton. Jarak tempuh Yogyakarta-Jakarta melalui pantua sekitar 552 kilometer. Sehingga Yudi selama 51 hari berjalan dengan agrang sejauh 1.104 kilometer.
Saat menuju ke Kepatihan, Yudi diiringi teman-temannya yang membawa spanduk warna merah bertuliskan “Raja Egrang Pulang dari Jakarta Membawa Misi untuk Jogja. Jogja Kritis Indonesia Menangis”. Yudi yang mengklaim sebagai Raja Egrang.
Ia mengenakan pakaian serba batik dengan blangkon warna merah. Pada dadanya diselempangkan kain bermotif Parangtuding yang warnanya serasi dengan pakaiannya: cokelat dengan warna dasar kain putih. Di dalam buntalan kain itu, Yudi mengeluarkan berkas yang disebutnya dengan proposal.
Satu berkas diberikan kepada Sultan, satu berkas lagi untuk Walikota Yogyakarta Haryadi Suyuti. “Saya minta agar titik nol Yogyakarta tidak digunakan untuk demonstrasi,” kata Yudi yang sehari-hari bekerja sebagai tukang parkir di jasa pengiriman barang di Mantrigawen, Yogyakarta. Alasannya adalah untuk menjaga kewibawaan keraton.
PITO AGUSTIN RUDIANA