TEMPO.CO, Semarang - Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait menilai Semarang menjadi salah satu daerah rawan penelantaran anak akibat perceraian. Meski tak menyebutkan angka kasusnya, ia menyebutkan kasus itu terjadi akibat putusan hakim yang justru membuat anak tak menjadi lebih baik.
“Penyebabnya, hakim memutuskan hak asuh anak diberikan ke salah satu orang tua,” kata Arist, Senin, 10 Agustus 2015.
Menurut Arist, hak asuh anak seharusnya tetap diberikan kepada kedua orang tua yang telah bercerai. “Tak ada mantan anak, adanya mantan suami atau mantan istri, hubungan darah tetap melekat,” katanya.
Kerawanan penelantaran anak akibat perceraian, Arist menambahkan, juga sering terjadi karena status anak jadi rebutan secara hukum dan tak selesai. Sejumlah kasus menunjukan, bila putusan hukum menetapkan hak asuh anak di salah satu pihak orang tua, orang tua yang tak punya hak asuh akan terus menggugat hingga ke Mahkamah Agung. Hasil putusan hukum yang terus dilawan seperti itulah yang mengorbankan anak.
Arist menyebutkan kewajiban mengasuh anak dari orang tua yang bercerai itu menjadi kewajiban bersama. “Kecuali salah satu orangnya tak layak secara medis,” katanya.
Arist mengatakan sudah mengusulkan amendemen Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 menyangkut putusan hakim yang sering merugikan anak. Ia menilai putusan hakim itu tak harus mengacu pada hukum, tapi juga pendekatan kemanusiaan.
Aida Noplhie Chandra, ibu yang tak mendapat hak asuh anak, di Kota Semarang, membenarkan efek putusan hakim yang memberikan hak asuh kepada salah satu orang tua anak. Aida, yang telah bercerai sejak dua tahun lalu, hingga kini tak mampu menemui putra sulungnya, Ritchie Anderson, yang telah diasuh ayahnya.
“Si adik, Rachel Allison, juga rindu kakaknya yang telah diasuh ayahnya, namun selalu tak bisa ketemu,” kata Aida.
Aida sudah berulang kali berusaha menemui anak sulungnya di rumah sang ayah di Kabupaten Temangung, tapi selalu tak berhasil. Ia merasakan akses menemui anak selalu dihalangi sejak ia bercerai dengan suaminya dua tahun lalu.
Menurut Aida, kondisi itu menghambat anaknya untuk mendapatkan kasih sayang dari dia sebagai ibu yang melahirkan. Aida mengaku sudah berupaya dengan berbagai cara agar bisa menemui anaknya, tapi tetap saja susah. “Hingga saya mengadu ke Komnas Perlindungan Anak, berharap agar menjembatani tali silaturahmi,” katanya.
Bahkan upaya Komnas Perlindungan Anak membantu mempertemukan anak pun selalu gagal meski sudah berkirim surat hingga empat kali.
EDI FAISOL