TEMPO.CO, Malang - Mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Hasyim Muzadi menyatakan saat ini PBNU vakum dari kepemimpinan. Bahkan kekosongan pemimpin ini akan terjadi sampai digelar kembali muktamar untuk memilih calon ketua umum yang legal.
"Saya tegaskan sekali lagi bahwa PBNU sekarang ini vakum, organisasinya memang ada, tapi pemimpinnya tidak ada sampai ada muktamar lagi," kata Hasyim Muzadi kepada wartawan di kediamannya Kompleks Pondok Pesantren Al-Hikam Malang, Jawa Timur, Kamis, 6 Agustus 2015.
Menurut Hasyim, wilayah dan cabang memiliki hak hukum dan hak memilih untuk menggelar kembali muktamar karena muktamar yang digelar di Jombang dan baru usai itu tidak sesuai aturan, prosedur, serta tidak tertib. Bahkan bisa dikatakan cacat hukum. Sebab, menurut Hasyim, esensinya prosedur organisasi tidak dilalui secara normal. (Baca: Pecah Dua Kubu, Muktamar NU Tetap Lanjut)
Karena itu, kata Hasyim, selama vakum kepemimpinan tidak ada tokoh atau siapa pun bisa mengatasnamakan PBNU sampai digelar muktamar ulang yang konstitusional. Pengurus wilayah atau di bawahnya tidak perlu khawatir akan terjadi pembekuan maupun “reshuffle" pengurus wilayah karena saat ini PBNU-nya sendiri vakum.
Hasyim mengaku dirinya juga tidak bersedia untuk dicalonkan sebagai Rais Aam dari forum yang diikuti 29 wilayah yang sebenarnya memenuhi kuorum di Pondok Pesantren Tebuireng. "Kalau saya terima pencalonan itu, NU akan pecah. Begitu juga ketika saya menerima pencalonan dari forum yang digelar di alun-alun karena statusnya cacat hukum, apakah bisa diterima akal jika dua forum mengaku semua kuorum, ini bagaimana," kata Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Hikam tersebut.
Meski ada 29 PWNU yang keluar dari Muktamar di Alun-alun Jombang dan bergabung ke kubu Salahuddin Wahid di Tebuireng, Hasyim Muzadi membantah NU pecah, sebab tidak ada muktamar tandingan atau NU tandingan. (Baca: NU TERANCAM PECAH: Kubu Gus Sholah Gelar Muktamar Tandingan)
Yang terjadi, kata Hasyim, adalah gerakan pemurnian NU dari penyusupan ideologi atau aliran pemikiran yang merusak keimanan dan perilaku avonturir para politikus.
"Gerakan pemurnian ini akan menjadi arus besar di dalam NU karena seluruh wilayah dan cabang menyaksikan sendiri bagaimana selama proses muktamar. Muktamirin diperlakukan semena-mena mulai dari sulitnya pendaftaran, rekayasa persidangan, dan perlakuan kasar terhadap para ulama dan kiai. Hikmahnya adalah semua warga NU bisa mengetahui betapa bahayanya penyusupan yang dilakukan secara komprehensif," tegasnya. (Baca: Kiai Tasawuf Ini Sedih Melihat Pelaksanaan Muktamar NU)
Hasyim mengemukakan dirinya juga memberikan apresiasi atas mundurnya atau penolakan Gus Mus (Mustofa Bisri) saat dicalonkan sebagai Rais Aam. Dengan begitu, menunjukkan Gus Mus tidak ingin menjabat dari sebuah proses abal-abal. (Baca: Ke Tebuireng, Gus Mus Menangis di Makam Pendiri NU) dan (Baca: Sudah Menolak, Gus Mus Tetap Dipilih Jadi Rais Aam NU)
Di hadapan wartawan cetak dan elektronik tersebut, Hasyim juga mengungkapkan kekecewaannya selama proses Muktamar NU yang dinilai tak sesuai dengan aturan organisasi. "Dengan kondisi seperti sekarang ini, wilayah dan cabang NU memiliki kewajiban untuk segera mengadakan muktamar ulang yang konstitusional," ujarnya.
ANTARA