TEMPO.CO, Jakarta - Badan Reserse Kriminal Polri memeriksa Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah selama sebelas jam dengan mencecar 80 pertanyaan. Junaidi diperiksa sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pembayaran honor Tim Pembina Rumah Sakit Umum Daerah M. Yunus, Bengkulu.
"Saya rasa, semua sudah sesuai prosedur," kata Junaidi didampingi istri dan kuasa hukumnya di Bareskrim, Senin, 3 Agustus 2015.
Junaidi menjelaskan penyidik banyak bertanya terkait surat keputusan gubernur bernomor Z.17.XXXVII tahun 2011 tentang tim pembina manajemen rumah sakit umum daerah itu. "Siapa yang mengajukan, menandatangani, dan mengesahkan. Siapa yang bertanggung jawab," ujar Junaidi.
Surat tersebut dinilai tidak mempunyai dasar hukum dalam undang-undang. Selain itu, surat itu dianggap bertentangan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Badan Layanan Umum Daerah.
Lewat surat tersebut, Gubernur menerima pembagian uang jasa Tim Pembina sebanyak 16 persen. Sedangkan wakilnya menerima 13 persen. Adapun kerugian negara akibat penyelewengan ini diperkirakan Rp 359 juta.
Kuasa hukum Junaidi, Muspani, menyatakan seharusnya kasus ini masuk dalam ranah penggelapan dana oleh bagian keuangan, bukan korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Oleh sebab itu, Surat Keputusan Presiden dibutuhkan untuk memperjelas status SK Gubernur Bengkulu.
Sebab, menurut Junaidi, SK Gubernur sudah sesuai dengan kebutuhan RSMY Bengkulu. "Kami yang lebih tau penganggaran, mekanisme, dan sebagainya. Makanya kami tanda tangani," ujarnya.
Junaidi dijerat Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Junaidi merasa dirugikan atas penetapan tersangka dirinya. Sebab, ia berencana maju dalam pemilihan Kepala Daerah serentak Desember mendatang. "Secara politik, saya merasa dirugikan. Tapi ya sudah lah, diambil hikmahnya saja," tuturnya.
DEWI SUCI RAHAYU