TEMPO.CO, Jombang - Ketua panitia daerah Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-33, Syaifullah Yusuf, membantah upaya politisasi Muktamar NU dari partai politik seperti yang dituduhkan KH Salahudin Wahid. Menurut dia muktamar ini bersifat terbuka bagi siapa pun untuk mengambil peran, termasuk partai politik.
Sesaat setelah KH Salahudin Wahid menyampaikan pernyataan keras terhadap pelaksanaan muktamar, Gus Ipul buru-buru memberikan klarifikasi. Dia menegaskan tak ada upaya politisasi yang terjadi pada peserta muktamar untuk memenangkan calon tertentu.
Baca Juga:
"Tidak ada itu politisasi, semua orang boleh berperan pada muktamar," kata Gus Ipul, sapaan Saifullah Yusuf, Ahad, 2 Agustus 2015.
Dia menjelaskan, polemik politisasi ini muncul karena dipicu sejumlah persoalan teknis terkait dengan pendaftaran peserta. Hal ini pun juga akibat tak terkendalinya para peserta yang sulit dikoordinasi. Ketika proses pendaftaran dilakukan, para peserta justru pergi mengunjungi makam auliya.
Dia mencontohkan kepergian sejumlah peserta ke Pondok Pesantren Tebuireng yang diasuh KH Salahudin Wahid dan dikabarkan tak bisa kembali adalah persoalan teknis. Gus Ipul menganggap mereka tak tahu jalan kembali dan bukan merupakan manuver politik pemilik rumah untuk mengarahkan muktamirin. "Mungkin mereka bingung jalan ke muktamar, gitu saja," katanya.
Sebagai sesepuh NU, Gus Ipul sangat menghormati Gus Solah. Apalagi selaku tuan rumah, Gus Solah tentu berharap pelaksanaan muktamar berlangsung lancar. Bahkan demi menjaga roh NU, muktamar dilakukan di Jombang yang dekat dengan makam pendiri.
Sebelumnya Gus Solah menuding ada upaya panitia untuk menjegal peserta penolak AHWA dengan tidak menerbitkan kartu peserta muktamar. Ini lantaran komposisi panitia muktamar didominasi politikus Partai Kesatuan Bangsa.
HARI TRI WASONO